Laman

Senin, 27 Mei 2013

KALAHKAN GOOGLE!!!


Dunia sudah berubah! Nampaknya semua orang akan mengamini pernyataan tersebut. Bahkan bagi banyak orang, perubahan yang dirasakan adalah sangat cepat.
Ya, dunia sudah berubah. Perkembangan teknologi serta akses informasi yang begitu deras mengalir bak tak terbendung membuat begitu banyak perubahan di sekitar kita. Di banyak bidang, tenaga-tenaga manusia mulai tergantikan dengan mesin. Di jaman sekarang, kita begitu mudahnya belanja online tanpa perlu bantuan pramuniaga. Kita masuk ke sebuah area gedung atau tempat perbelanjaan dengan mengambil karcis parkir bukan dari petugas parkir lagi melainkan mesin. Kita tidak perlu lagi mengantri panjang untuk mengambil atau bahkan menyetor uang kita di bank karena begitu banyaknya mesin ATM di sekitar kita. Kita sudah (hampir) tidak pernah lagi melihat kendaraan berwarna oranye milik petugas pos yang berhenti di depan rumah kita untuuk mengantar surat ataupun kartu ucapan Hari Raya karena sudah tergantikan oleh surat elektronik (email). Masih begitu banyak lagi contoh persaingan antara sumber daya manusia dengan mesin yang dalam beberapa bidang (nampaknya) mulai dimenangkan oleh mesin.
Jika hingga bulan Februari tahun 2013 ini saja, menurut Badan Pusat Statistik, data jumlah angka pengangguran yang ada di Indonesia berjumlah sekitar 7,17 juta jiwa  Dapat dibayangkan akan ada berapa lagi jumlah pengangguran yang akan kita miliki dalam kurun (misalnya) 20 tahun kemudian jika kita tidak terus berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
            Berbarengan dengan upaya pembukaan lapangan kerja untuk menekan angka pengangguran, kita selayaknya juga harus mempersiapkan anak-anak kita untuk mempunyai ketrampilan yang diperlukan untuk mampu berkompetisi di masa mendatang. Nah, keterampilan yang seperti apa yang diperlukan? Jawabannya sangat klise dan sederhana yaitu kemampuan berpikir dan bertindak kreatif. Pertanyaan yang selanjutnya adalah sudahkah semua pendidik dan orang tua membantu mempersiapkan anak-anak kita untuk mempunyai kreatifitas yang dibutuhkan untuk masa depan mereka? Ini yang nampaknya belum maksimal.
            Penulis mengamati bahwa perlu ada perubahan pola pengajaran yang diberikan kepada anak-anak didik kita. Ketika akses informasi berada hanya di ujung jari dimana dengan sekali mengklik di mesin pencari informasi Google, semua informasi yang diperlukan akan dimunculkan, para pendidik dan orang tua harus perlu menjadi kreatif dalam mengajarkan kreatifitas kepada anak-anak.
            Jika pendekatan pengajaran kita masih saja menekankan pada kemampuan untuk mengingat dan memahami informasi atau pengetahuan saja, maka niscaya kreatifitas tidak akan pernah dimiliki oleh anak-anak kita. Penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa kemampuan mengingat dan memahami tidaklah penting, namun ada kemampuan yang lebih penting untuk dimiliki anak-anak kita yaitu kemampuan menganalisa, memecahkan masalah, berefleksi, mengevaluasi serta berkreasi yang oleh Bloom (1956) dikategorikan sebagai kemampuan berpikir tingkat atas.
            Mau tidak mau kita harus menerima bahwa sistem pendidikan nasional kita masih menggunakan Ujian Nasional di setiap akhir jenjang SD, SMP dan SMA yang bobot untuk menentukan kelulusan siswa masih saja besar yaitu 60% dibanding dengan nilai lokal yang hanya 40%. Namun begitu, hendaknya kita tidak perlu mengorbankan masa depan anak didik dengan mereduksi kreatifitas dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari. Para pendidik dan orang tua haruslah mampu berperan lebih dari apa yang Google bisa lakukan yaitu dengan selalu menstimulasi kemampuan anak untuk berpikir analistis, solutif dan kreatif. Bagaimana? Dengan membiasakan memberikan stimulus berupa pertanyaan-pertanyaaan serta instruksi atau tugas yang mengarahkan mereka untuk menganalisa, mencari solusi dan berkreasi. Google hanya menyediakan informasi namun Google tidak mampu membuat anak membiasakan diri untuk menganalisa masalah, memecahkannya secara kontekstual serta berpikir secara kreatif. Inilah tugas kita, tugas para pendidik dan orang tua.
Sebuah ilustrasi, jika anak mulai mengeluh karena Jakarta macet, beri mereka pancingan pertanyaan bagaimana menyelesaikan masalah tersebut. Penulis pernah menerima keluhan serupa dari seorang siswa SD kelas 3. Ketika ditanya mengapa kemacetan terjadi, si anak menjawab karena begitu banyak mobil dan ukurannya besar. Kemudian penulis bertanya cara untuk mengatasi masalah tersebut. Si anak melanjutkan bahwa harus ada mobil ukuran kecil yang bisa terbang. Penulis kemudian memberikan secarik kertas kepada si anak untuk menggambarkan mobil idealnya. Mungkin idenya terkesan khayal. Tetapi bukankah kreatifitas memang sering dimulai dari sebuah khayalan? Biarkan anak berimajinasi karena memang itu salah satu modal yang mereka punya untuk berkreasi.
            Pendidikan kreatif tidaklah mahal dan hanya dimiliki oleh sekolah-sekolah (yang dianggap) favorit dan bertaraf international serta berlabel plus. Pendidikan kreatif dapat dilakukan oleh siapapun, di manapun dan kapanpun. Selalu ada banyak kesempatan untuk selalu menyisipkan pertanyaan-pertanyaan sederhana (namun cerdas) yang membuat anak didik untuk berpikir kreatif. Bertanyalah selalu mengapa dan bagaimana kepada mereka. Ajaklah mereka untuk berpikir kritis dan bukan hanya menghapal. Lambat laun, kebiasaan berpikir dan bertindak kreatif akan terinternalisasi dan muncul dalam setiap kali anak-anak kita menganalisa masalah. Jangan lagi kita membebani anak-anak kita untuk menghapal terlalu banyak informasi yang padahal Google bisa membantu untuk menyimpan serta membukanya kembali jika diperlukan. Dan jika memang Ujian Nasional tetap akan ada dalam sistem pendidikan nasional kita, janganlah kita menyerah dengan hanya mengajar anak didik kita demi mampu menjawab soal-soal Ujian Nasional. Ajarlah mereka apa yang mereka layak dapatkan dan perlukan. Ajarlah anak-anak kita apa yang Google tidak mampu ajarkan. Mari, para pendidik dan orang tua, kita kalahkan Google demi masa depan anak-anak kita yang lebih baik.

Daftar Pustaka:
1.      Bloom, B.S., Engelhart, M.D., Furst, E.J., Hill, W.H., & Krathwohl, D.R., (Eds.). (1956). Taxonomy of educational objectives: The classification of educational goals. Handbook i: Cognitive domain. New York: David McKay.
2.      Berita Resmi Statistik No. 35/05/Th.XVI, 6 Mei 2013, http://www.bps.go.id/getfile.php?news=1010; diunduh pada 9 Mei 2013
3.      Yang Tetap dan yang Berubah dalam UN 2013, Afifah R., 31 Januari 2013, http://www.edukasi.kompas.com/read/2013/01/31/10363761/Yang.Tetap.dan.yang.Berubah.dalam.UN.2013; diunduh pada 9 Mei 2013


2 komentar:

  1. Hm, utk mengajak murid menganalisa soal Math (jg utk mempersiapkan SA) saya nyuruh anak2 pikir dulu kira2 gmn cara mengerjakan 2/3steps problem, coba kerjain sbgmn mereka pikir seharusnya, lalu compare dg partner cara mereka mengerjakan, diskusi mana cara yg benar, kenapa. Baru saya suruh share dan kasih tau cara yg benar smbil menjelaskan seharusnya gmn (well kebanyakan saya sih nyuruh begitu dihampir smua topik/pelajaran)

    Maksudnya sih ngajak anak utk mikir dan menganalisa dg konsep dasar yg dah dimengerti. Tp kok kayaknya utk bbrp anak spt sama aja, pd akhirnya cm "asal menerima" cara yg diajarkan guru utk mengerjakan...

    Gmn idealnya diterapkan di Binus dong?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pembiasaan berpikir analitis dan kreatif tetap hars dilakukan oleh para pendidik. It does take time but the result will be meaningful for their future.
      Untuk case beberapa anak yang hanya take everything for granted, guru bisa melakukan cara jigsaw dimana setiap individu diberi tanggung jawab menguasai satu materi yang selanjutnya disharingkan ke teman-temannya.
      Keep on striving! :)

      Hapus