Laman

Rabu, 13 Juli 2011

Berpikir Kreatif Ala Bloom


Di tengah jebakan macet lalu lintas Jakarta, seorang anak bertanya pada sang ibu. “Ma, kenapa sih kok jalanan selalu saja macet?” Jawab sang ibu, “Menurut Dedek kenapa?” Sang anak sejenak merenung kemudian berkata, “Mungkin terlalu banyak mobil yang lewat ya Ma. Mobilnya gede-gede lagi Ma.” Sang ibu melanjutkan, “Iya juga sih Dek. Habis kalo tidak pakai mobil mau naik apa?” “Kenapa tidak mobilnya diperkecil saja Ma biar tidak makan tempat.” Sang ibu kemudian memancing, “Sekarang coba Dedek pikirkan kendaraan yang tidak membuat macet.” “Dedek mau buat kendaraan pribadi yang bisa terbang Ma.” “Wah bagus itu. Mama punya kertas dan pensil. Coba sekarang Dedek gambarkan kendaraan ciptaan Dedek.” Kemudian sang anak mulai sibuk manggambar kendaraan khayalannya.

Pada tahun 1956, seorang pakar psikologi pendidikan dari Amerika, Benjamin S. Bloom, dalam teori pendidikannya membuat klasifikasi proses berpikir manusia berdasarkan tingkat kemampuan kegunaannnya yang selanjutnya dikenal dengan Taxonomi Bloom. Orisinalitas teori ini mampu bertahan selama 50 tahun yang kemudian oleh bekas muridnya, Lorin Anderson, pada tahun 1990 direvisi dan diperjelas lagi.
Taxonomi Bloom yang telah direvisi tersebut dapat dijelaskan secara singkat seperti berikut:
1. Remembering (Menghafal)
Kemampuan untuk mengulang atau menyampaikan kembali informasi yang telah didapatkan sebelumnya dengan cara mengingat kembali informasi yang telah tersimpan dalam memori.
2. Understanding (Memahami)
Kemampuan untuk menggunakan informasi yang telah terekam dalam memori untuk memberikan contoh, ringkasan, mengelompokkan atau menjelaskan kembali.
3. Applying (Menerapkan)
Kemampuan untuk menginterpretasikan menggunakan informasi atau konsep pengetahuan yang telah didapat dalam memecahkan persoalan yang relevan dengan jenis pengetahuan yang telah diterima.
4. Analysing (Menganalisa)
Kemampuan untuk menjabarkan secara detail atas konsep pengetahuan yang telah diterima.
5. Evaluating (Mengevaluasi)
Kemampuan untuk memberi penilaian berdasarkan kriteria dan standar melalui pemeriksaan serta kritik.
6. Creating (Mencipta)
Kemampuan untuk mengorganisir elemen-elemen sehingga membentuk suatu kesatuan fungsional yang akhirnya mampu merumuskan dalil-dalil atau pola-pola baru.


Tingkat berpikir nomor 1 hingga 3 disebut sebagai tingkat berpikir rendah (lower order thinking levels) sedangkan nomor 4 hingga 6 disebut sebagai tingkat berpikir atas (higher order thinking levels).

Kelemahan proses pendidikan, baik formal maupun informal, yang biasa kita jumpai adalah ketika proses pendidikan tersebut hanya diarahkan pada tingkat berpikir yang rendah (nomor 1-3). Sering kita jumpai pada proses belajar mengajar siswa hanya diberi catatan dan kemudian diminta menghafal mati apa yang sudah diajarkan. Atau, siswa hanya diberi rumus-rumus serta seperangkat teori tanpa diarahkan untuk menggali kemampuan berpikirnya untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan baru. Proses pendidikan seperti ini hanya akan membuat siswa mampu menghafal dan mengingat pelajaran tanpa proses internalisasi materi pelajaran yang kuat serta membatasi daya kreasinya.
Idealnya, seorang anak dalam proses pendidikannya, dimanapun juga, diarahkan pada kemampuan berpikir di level yang atas (nomor 4-6). Pendidikan kreatifitas anak pada dasarnya tidak melulu membutuhkan biaya mahal (bahkan sering kali bisa dibuat tidak perlu biaya jika kita paham bagaimana cara melakukannya) dan bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun juga.
Pada ilustrasi di atas digambarkan daya kritis seorang anak muncul ketika dia dihadapkan pada situasi terjebak kemacetan lalu lintas. Sang ibu dengan sangat baik berhasil memberikan stimulus kepada anak yang pada akhirnya mengarahkan anak tersebut pada proses berpikir secara analitis, evaluatif dan kreatif. Bagi orang dewasa mungkin hal tersebut terkesan khayal dan mengada-ada, namun hakekatnya pada tahap perkembangan pola pemikiran usia anak-anak, hal tersebut menunjukkan kemampuan anak untuk memvisualisasikan kreatifitasnya.
Di era revolusi teknologi informasi sekarang ini, dimana arus globalisasi dirasa sudah tak terbendung lagi, kreatifitas menjadi modal utama untuk tetap survive. Ketika kreatifitas seseorang tidak dibiasakan dibangun pada usia dini, seorang anak akan tumbuh tanpa kemampuan untuk melihat peluang serta memanfaatkan peluang untuk menghasilkan sesuatu yang positif. Tanpa kemampuan berpikir kreatif, lambat laun orang akan tergantikan dengan tenaga mesin. Perhatikan betapa sekarang penggunaan sms serta email mampu menggantikan peran Pak Pos untuk mengirimkan surat. Atau juga dimana sekarang mesin ATM yang semakin tersebar luas telah manggantikan peran Teller.
Adalah menjadi tugas orang-orang dewasa (baca: orang tua dan guru) untuk membantu proses pembentukan kebiasaan berpikir kreatif (creative thinking habit) pada seorang anak. Dengan membiasakan diri memberikan stimulus-stimlus kepada anak yang mengarah pada higher-order thinking level, niscaya anak akan tumbuh dengan kemampuan analisis yang sistematis dan kreatif yang pada akhirnya akan menjadi modal ketika tumbuh dewasa dan masuk pada dunia kerja yang kompetitif.

“Ma, kenapa sih Gerombolan Siberat dalam komik Donal Bebek selalu suka mencuri dan berbuat jahat?” “Dedek maunya yang seperti apa?” “Dedek maunya Gerombolan Siberat bertobat dan berbuat baik Ma.” “Sekarang begini aja, Mama ada kertas dan pensil, Dedek buat cerita sendiri tentang Gerombolan Siberat seperti maunya Dedek”. Sekali lagi sang anak tenggelam dalam dunia kreasinya untuk menciptakan dunia baru berdasar perenungan evaluatif dan kreatifnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar