Laman

Kamis, 14 Juli 2011

Mereposisi Pendidikan Nasionalisme

Bulan Agustus (yang akan tiba sebulan lagi) merupakan bulan yang sangat spesial bagi para pelajar di Indonesia. Selain (mungkin) sekolah mereka mengadakan upacara bendera untuk memperingati hari kemerdekaan negara Indonesia, mereka juga biasanya akan merayakannya dengan mengikuti banyak perlombaan untuk menambah kemeriahan dirgahayu Republik Indonesia. Namun ironisnya, perayaan hanyalah sebatas perayaan seremonial tahunan yang tidak mampu menumbuhkan semangat nasionalisme kepada para pelajar. Perayaan tersebut lebih pada mengingatkan kembali kenangan tentang peristiwa proklamasi tanpa disertai upaya untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan yang teguh. Semangat nasionalisme para pelajar Indonesia semakin hari semakin mengalami dekadensi. Rasa cinta tanah air dan bangsa semakin surut dalam realita kehidupan anak bangsa itu sendiri.

Sekolah sebagai salah satu sarana pembentukan nilai-nilai bagi para peserta didiknya dapat dilihat sebagai sebab sekaligus harapan akan surut dan pasangnya nilai nasionalisme pada anak-anak negeri. Sebagai sebab karena sekolah kurang mampu memainkan perannya dalam pemupukan nasionalisme bagi para siswanya. Sebagai harapan karena sekolah merupakan ruang yang paling strategis untuk membentuk manusia-manusia Indonesia yang memiliki cinta nyata kepada negerinya.

Perjalanan nasionalisme untuk mendapatkan di hati rakyat Indonesia dewasa ini juga semakin mendapatkan banyak tantangan. Beberapa di antaranya adalah lebih kuatnya rasa primordialisme ataupun internasionalisme dari pada nasionalisme. Selain itu, metode pendidikan nasionalisme yang kurang tepat dilakukan oleh kebanyakan sekolah di Indonesia.

Nasionalisme vs primordialisme
Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa Indonesia menyimpan begitu banyak perbedaan yang ada di dalam masyarakatnya. Dari mulai perbedaan kesukuan, geografis, agama, politis ataupun kategori pengelompokkan lainnya. Banyak orang masih lebih mengikatnya diri pada kepentingan kelompoknya lebih dari kepentingan bangsa. Isu-isu sensitif menghadirkan sentimen-sentimen antar kelompok yang mengakibatkan orang cenderung melupakan semangat nasionalisme. Konflik-konflik SARA terjadi begitu mudahnya. Semangat Bhinneka Tunggal Ika layu dan bahkan tergusur oleh semangat primordialisme yang berlebihan.

Nasionalisme harus segera bangkit mengungguli primordialisme jika bangsa ini tidak ingin berlarut dalam gesekan-gesekan kelompok yang kontra produktif bagi kemajuan dan pembangunan Indonesia. Masyarakat harus kembali kepada semangat Bhineka Tunggal Ika yang mensyaratkan adanya kerukunan di antara semua golongan untuk membangun bangsa ini.

Nasionalisme vs internasionalisme
Nasionalisme juga semakin tergeser oleh paham internasionalisme yang bergulir seturut dengan kemunculan revolusi teknologi informasi dan globalisasi yang memudahkan orang untuk mempunyai akses untuk terhadap isu-isu internasional. Nasionalisme menjadi hal yang semakin tidak populer ketika manusia seolah-olah semakin tidak terikat oleh ruang dan waktu. Ditambah lagi, situasi dan kondisi bangsa yang dilihat secara apriori oleh masyarakatnya sendiri sebagai bangsa yang sering diterpa berbagai masalah. Celakanya, banyak orang Indonesia sendiri kemudian membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain tanpa adanya perasaan bangga dan cinta tanah air.

Internasionalisme seharusnya terbentuk setelah nasionalisme itu sendiri terbentuk dalam diri seseorang. Bukan sebaliknya, internasionalisme dipilih untyuk menggantikan nasionalisme yang diangaap sudah usang dan tidak berdaya.

Pendidikan kognitif vs afektif
Pendidikan yang ditawarkan sekolah seharusnya mampu menjawab permasalahan tersebut dengan mereposisi ranah pendidikan nasionalisme. Nasionalisme seringkali disangka akan muncul secara otomatis ketika siswa mampu menghafal serta mengulas pelajaran-pelajaran sejarah dan mengenal budaya bangsa Indonesia. Metode pembelajaran yang seperti ini hanya berada di ranah kognitif yang menempatkan nasionalisme sebagai pengetahuan yang harus dihafal dan dimengerti.

Sudah sangat umum bahwa guru mengajarkan pengetahuan tentang nasionalisme dengan menjelaskan kepada siswa tentang sejarah kebangsaan. Selanjutnya, siswa diminta untuk menghafal ataupun memahami topik-topik pelajaran yang sedang dibahas. Ukuran kesusksesan siswa adalah nilai yang baik di dalam rapor berdasarkan kemampuan mereka untuk menceritakan kembali ingatan mereka tentang cerita kebangsaan tersebut.

Nasionalisme haruslah lebih dari sekedar pengetahuan. Nasionalisme merupakan sebuah kesadaran yang terbangun karena akal dan rasa berpadu. Pendidikan nasionalisme harus bertumpu pada ranah afektif yang terus menerus dipupuk pada siswa sehingga mereka mencapai tahap internalisasi yang membuat mereka mampu menjadi nasionalis-nasionalis yang mampu membawa Indonesia ke dalam percaturan dunia internasional.

Implementasi dalam pendidikan
Pendidikan nasionalisme dalam ranah afektif merupakan sebuah keharusan dalam pemupukan semangat cinta tanah air dan bangsa bagi para siswa. Dalam hal ini, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan pihak sekolah sebagai upaya untuk mereposisi pendidikan nasionalisme.

1. Pengintegrasian nilai-nilai nasionalisme ke dalama kurikulum sejak pendidikan anak usia dini.
Sudah saatnya nilai-nilai nasionalisme kembali mendapatkan porsi yang lebih kentara dalam pendidikan nasional kita. Seyogianya, anak-anak sejak usia dini sudah mulai diperkenalnya dan ditumbuhkan semangat cinta tanah air dan bangsa melalui kegiatan-kegiatan pembelarajan. Para siswa sejak usia dini mulai berkenalan dengan budaya Indonesia. Guru-guru mengintegrasikan nilai-nilai nasionalisme melalui pelajaran-pelajaran yang mereka ampu. Sama halnya dengan pendidikan moral, semua guru mempunyai tanggung jawab untuk menumbuh kembangkan semangat nasionalisme kepada para siswa.

2. Metode pembelajaran nasionalisme yang lebih menekankan ranah afektif daripada kognitif.
Keberhasilan pendidikan nasionalisme bukan dilihat dari kemampuan siswa untuk mengingat kembali pelajaran-pelajaran yang telah diberikan. Namun, keberhasilan pendidikan nasionalisme harus terefleksi dalam sikap dan perilaku siswa yang mencerminkan semangat kebangsaaan dan cinta tanah air. Nasionalisme lebih pada rasa dan bukan semata pengetahuan belaka.

Pendidikan nasionalisme tanpa upaya untuk membantu siswa menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya hanyalah sebuah kesia-siaan. Yang dibutuhkan bangsa ini, sebagai contoh, adalah bukan orang yang mampu menyebutkan nama-nama tokoh atau pahlawan Indonesia. Namun orang yang mampu menghargai upaya para pahlawan yang selanjutnya menginspirasinya untuk melanjutkan perjuangan membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Penutup
Peran sekolah menjadi sangat krusial dalam menanamkan nilai-nilai nasionalisme pada para siswanya. Sekolah harus mampu menempatkan pendidikan nasionalisme pada ranah yang tepat yaitu pembangkitan rasa untuk memastikan bahwa siswa tidak hanya mengenal arti nasionalisme tetapi memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan semangat nasionalisme.

Perayaan 17 Agustus-an di sekolah-sekolah merupakan momen yang sangat strategis untuk dipakai sebagai sebuah upaya menumbuhkan kesadaran nasionalisme bagi para peserta didik di Indonesia yang sudah mulai pudar. Perayaan bukanlah sekedar kegiatan seremonial semata, namun lebih pada momen untuk berefleksi untuk mereposisi pendidikan nasionalisme dalam upaya peneguhan kembali rasa cinta tanah air sebagai bakti terhadap bumi pertiwi. Jayalah terus Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar