Dunia
sudah berubah! Nampaknya semua orang akan mengamini pernyataan tersebut. Bahkan
bagi banyak orang, perubahan yang dirasakan adalah sangat cepat.
Ya,
dunia sudah berubah. Perkembangan teknologi serta akses informasi yang begitu
deras mengalir bak tak terbendung membuat begitu banyak perubahan di sekitar kita. Di banyak bidang, tenaga-tenaga
manusia mulai tergantikan dengan mesin. Di jaman sekarang, kita begitu mudahnya
belanja online tanpa perlu bantuan
pramuniaga. Kita masuk ke sebuah area gedung atau tempat perbelanjaan dengan
mengambil karcis parkir bukan dari petugas parkir lagi melainkan mesin. Kita
tidak perlu lagi mengantri panjang untuk mengambil atau bahkan menyetor uang
kita di bank karena begitu banyaknya mesin ATM
di sekitar kita. Kita sudah (hampir) tidak pernah lagi melihat kendaraan
berwarna oranye milik petugas pos yang berhenti di depan rumah kita untuuk
mengantar surat ataupun kartu ucapan Hari Raya karena sudah tergantikan oleh
surat elektronik (email). Masih
begitu banyak lagi contoh persaingan antara sumber daya manusia dengan mesin
yang dalam beberapa bidang (nampaknya) mulai dimenangkan oleh mesin.
Jika hingga bulan Februari tahun 2013 ini
saja, menurut Badan Pusat Statistik, data jumlah angka pengangguran yang ada di
Indonesia berjumlah sekitar 7,17 juta jiwa Dapat dibayangkan akan ada berapa lagi jumlah
pengangguran yang akan kita miliki dalam kurun (misalnya) 20 tahun kemudian
jika kita tidak terus berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia
Indonesia.
Berbarengan
dengan upaya pembukaan lapangan kerja untuk menekan angka pengangguran, kita
selayaknya juga harus mempersiapkan anak-anak kita untuk mempunyai ketrampilan
yang diperlukan untuk mampu berkompetisi di masa mendatang. Nah, keterampilan yang seperti apa yang
diperlukan? Jawabannya sangat klise dan sederhana yaitu kemampuan berpikir dan
bertindak kreatif. Pertanyaan yang selanjutnya adalah sudahkah semua pendidik
dan orang tua membantu mempersiapkan anak-anak kita untuk mempunyai kreatifitas
yang dibutuhkan untuk masa depan mereka? Ini yang nampaknya belum maksimal.
Penulis
mengamati bahwa perlu ada perubahan pola pengajaran yang diberikan kepada
anak-anak didik kita. Ketika akses informasi berada hanya di ujung jari dimana
dengan sekali mengklik di mesin pencari informasi Google, semua informasi yang diperlukan akan dimunculkan, para
pendidik dan orang tua harus perlu menjadi kreatif dalam mengajarkan kreatifitas
kepada anak-anak.
Jika
pendekatan pengajaran kita masih saja menekankan pada kemampuan untuk mengingat
dan memahami informasi atau pengetahuan saja, maka niscaya kreatifitas tidak
akan pernah dimiliki oleh anak-anak kita. Penulis tidak bermaksud mengatakan
bahwa kemampuan mengingat dan memahami tidaklah penting, namun ada kemampuan
yang lebih penting untuk dimiliki anak-anak kita yaitu kemampuan menganalisa,
memecahkan masalah, berefleksi, mengevaluasi serta berkreasi yang oleh Bloom
(1956) dikategorikan sebagai kemampuan berpikir tingkat atas.
Mau
tidak mau kita harus menerima bahwa sistem pendidikan nasional kita masih
menggunakan Ujian Nasional di setiap akhir jenjang SD, SMP dan SMA yang bobot
untuk menentukan kelulusan siswa masih saja besar yaitu 60% dibanding dengan
nilai lokal yang hanya 40%. Namun begitu, hendaknya kita tidak perlu
mengorbankan masa depan anak didik dengan mereduksi kreatifitas dalam kegiatan
belajar mengajar sehari-hari. Para pendidik dan orang tua haruslah mampu
berperan lebih dari apa yang Google
bisa lakukan yaitu dengan selalu menstimulasi kemampuan anak untuk berpikir
analistis, solutif dan kreatif. Bagaimana? Dengan membiasakan memberikan stimulus
berupa pertanyaan-pertanyaaan serta instruksi atau tugas yang mengarahkan
mereka untuk menganalisa, mencari solusi dan berkreasi. Google hanya menyediakan informasi namun Google tidak mampu membuat anak membiasakan diri untuk menganalisa
masalah, memecahkannya secara kontekstual serta berpikir secara kreatif. Inilah
tugas kita, tugas para pendidik dan orang tua.
Sebuah ilustrasi, jika anak mulai mengeluh
karena Jakarta macet, beri mereka pancingan pertanyaan bagaimana menyelesaikan
masalah tersebut. Penulis pernah menerima keluhan serupa dari seorang siswa SD
kelas 3. Ketika ditanya mengapa kemacetan terjadi, si anak menjawab karena
begitu banyak mobil dan ukurannya besar. Kemudian penulis bertanya cara untuk
mengatasi masalah tersebut. Si anak melanjutkan bahwa harus ada mobil ukuran
kecil yang bisa terbang. Penulis kemudian memberikan secarik kertas kepada si
anak untuk menggambarkan mobil idealnya. Mungkin idenya terkesan khayal. Tetapi
bukankah kreatifitas memang sering dimulai dari sebuah khayalan? Biarkan anak
berimajinasi karena memang itu salah satu modal yang mereka punya untuk
berkreasi.
Pendidikan
kreatif tidaklah mahal dan hanya dimiliki oleh sekolah-sekolah (yang dianggap)
favorit dan bertaraf international
serta berlabel plus. Pendidikan
kreatif dapat dilakukan oleh siapapun, di manapun dan kapanpun. Selalu ada
banyak kesempatan untuk selalu menyisipkan pertanyaan-pertanyaan sederhana
(namun cerdas) yang membuat anak didik untuk berpikir kreatif. Bertanyalah
selalu mengapa dan bagaimana kepada mereka. Ajaklah mereka untuk berpikir
kritis dan bukan hanya menghapal. Lambat laun, kebiasaan berpikir dan bertindak
kreatif akan terinternalisasi dan muncul dalam setiap kali anak-anak kita
menganalisa masalah. Jangan lagi kita membebani anak-anak kita untuk menghapal terlalu
banyak informasi yang padahal Google
bisa membantu untuk menyimpan serta membukanya kembali jika diperlukan. Dan jika
memang Ujian Nasional tetap akan ada dalam sistem pendidikan nasional kita,
janganlah kita menyerah dengan hanya mengajar anak didik kita demi mampu
menjawab soal-soal Ujian Nasional. Ajarlah mereka apa yang mereka layak
dapatkan dan perlukan. Ajarlah anak-anak kita apa yang Google tidak mampu ajarkan. Mari, para pendidik dan orang tua, kita
kalahkan Google demi masa depan
anak-anak kita yang lebih baik.
Daftar Pustaka:
1.
Bloom, B.S., Engelhart, M.D., Furst,
E.J., Hill, W.H., & Krathwohl, D.R., (Eds.). (1956). Taxonomy of educational objectives: The classification of educational
goals. Handbook i: Cognitive domain. New
York: David McKay.
2.
Berita
Resmi Statistik No. 35/05/Th.XVI, 6 Mei 2013, http://www.bps.go.id/getfile.php?news=1010;
diunduh pada 9 Mei 2013
3.
Yang Tetap dan yang Berubah dalam UN 2013, Afifah R., 31 Januari 2013, http://www.edukasi.kompas.com/read/2013/01/31/10363761/Yang.Tetap.dan.yang.Berubah.dalam.UN.2013; diunduh pada 9 Mei 2013
Hm, utk mengajak murid menganalisa soal Math (jg utk mempersiapkan SA) saya nyuruh anak2 pikir dulu kira2 gmn cara mengerjakan 2/3steps problem, coba kerjain sbgmn mereka pikir seharusnya, lalu compare dg partner cara mereka mengerjakan, diskusi mana cara yg benar, kenapa. Baru saya suruh share dan kasih tau cara yg benar smbil menjelaskan seharusnya gmn (well kebanyakan saya sih nyuruh begitu dihampir smua topik/pelajaran)
BalasHapusMaksudnya sih ngajak anak utk mikir dan menganalisa dg konsep dasar yg dah dimengerti. Tp kok kayaknya utk bbrp anak spt sama aja, pd akhirnya cm "asal menerima" cara yg diajarkan guru utk mengerjakan...
Gmn idealnya diterapkan di Binus dong?
Pembiasaan berpikir analitis dan kreatif tetap hars dilakukan oleh para pendidik. It does take time but the result will be meaningful for their future.
HapusUntuk case beberapa anak yang hanya take everything for granted, guru bisa melakukan cara jigsaw dimana setiap individu diberi tanggung jawab menguasai satu materi yang selanjutnya disharingkan ke teman-temannya.
Keep on striving! :)