Dunia
sudah berubah! Nampaknya semua orang akan mengamini pernyataan tersebut. Bahkan
bagi banyak orang, perubahan yang dirasakan adalah sangat cepat.
Ya,
dunia sudah berubah. Perkembangan teknologi serta akses informasi yang begitu
deras mengalir bak tak terbendung membuat begitu banyak perubahan di sekitar kita. Di banyak bidang, tenaga-tenaga
manusia mulai tergantikan dengan mesin. Di jaman sekarang, kita begitu mudahnya
belanja online tanpa perlu bantuan
pramuniaga. Kita masuk ke sebuah area gedung atau tempat perbelanjaan dengan
mengambil karcis parkir bukan dari petugas parkir lagi melainkan mesin. Kita
tidak perlu lagi mengantri panjang untuk mengambil atau bahkan menyetor uang
kita di bank karena begitu banyaknya mesin ATM
di sekitar kita. Kita sudah (hampir) tidak pernah lagi melihat kendaraan
berwarna oranye milik petugas pos yang berhenti di depan rumah kita untuuk
mengantar surat ataupun kartu ucapan Hari Raya karena sudah tergantikan oleh
surat elektronik (email). Masih
begitu banyak lagi contoh persaingan antara sumber daya manusia dengan mesin
yang dalam beberapa bidang (nampaknya) mulai dimenangkan oleh mesin.
Jika hingga bulan Februari tahun 2013 ini
saja, menurut Badan Pusat Statistik, data jumlah angka pengangguran yang ada di
Indonesia berjumlah sekitar 7,17 juta jiwa Dapat dibayangkan akan ada berapa lagi jumlah
pengangguran yang akan kita miliki dalam kurun (misalnya) 20 tahun kemudian
jika kita tidak terus berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia
Indonesia.
Berbarengan
dengan upaya pembukaan lapangan kerja untuk menekan angka pengangguran, kita
selayaknya juga harus mempersiapkan anak-anak kita untuk mempunyai ketrampilan
yang diperlukan untuk mampu berkompetisi di masa mendatang. Nah, keterampilan yang seperti apa yang
diperlukan? Jawabannya sangat klise dan sederhana yaitu kemampuan berpikir dan
bertindak kreatif. Pertanyaan yang selanjutnya adalah sudahkah semua pendidik
dan orang tua membantu mempersiapkan anak-anak kita untuk mempunyai kreatifitas
yang dibutuhkan untuk masa depan mereka? Ini yang nampaknya belum maksimal.
Penulis
mengamati bahwa perlu ada perubahan pola pengajaran yang diberikan kepada
anak-anak didik kita. Ketika akses informasi berada hanya di ujung jari dimana
dengan sekali mengklik di mesin pencari informasi Google, semua informasi yang diperlukan akan dimunculkan, para
pendidik dan orang tua harus perlu menjadi kreatif dalam mengajarkan kreatifitas
kepada anak-anak.
Jika
pendekatan pengajaran kita masih saja menekankan pada kemampuan untuk mengingat
dan memahami informasi atau pengetahuan saja, maka niscaya kreatifitas tidak
akan pernah dimiliki oleh anak-anak kita. Penulis tidak bermaksud mengatakan
bahwa kemampuan mengingat dan memahami tidaklah penting, namun ada kemampuan
yang lebih penting untuk dimiliki anak-anak kita yaitu kemampuan menganalisa,
memecahkan masalah, berefleksi, mengevaluasi serta berkreasi yang oleh Bloom
(1956) dikategorikan sebagai kemampuan berpikir tingkat atas.
Mau
tidak mau kita harus menerima bahwa sistem pendidikan nasional kita masih
menggunakan Ujian Nasional di setiap akhir jenjang SD, SMP dan SMA yang bobot
untuk menentukan kelulusan siswa masih saja besar yaitu 60% dibanding dengan
nilai lokal yang hanya 40%. Namun begitu, hendaknya kita tidak perlu
mengorbankan masa depan anak didik dengan mereduksi kreatifitas dalam kegiatan
belajar mengajar sehari-hari. Para pendidik dan orang tua haruslah mampu
berperan lebih dari apa yang Google
bisa lakukan yaitu dengan selalu menstimulasi kemampuan anak untuk berpikir
analistis, solutif dan kreatif. Bagaimana? Dengan membiasakan memberikan stimulus
berupa pertanyaan-pertanyaaan serta instruksi atau tugas yang mengarahkan
mereka untuk menganalisa, mencari solusi dan berkreasi. Google hanya menyediakan informasi namun Google tidak mampu membuat anak membiasakan diri untuk menganalisa
masalah, memecahkannya secara kontekstual serta berpikir secara kreatif. Inilah
tugas kita, tugas para pendidik dan orang tua.
Sebuah ilustrasi, jika anak mulai mengeluh
karena Jakarta macet, beri mereka pancingan pertanyaan bagaimana menyelesaikan
masalah tersebut. Penulis pernah menerima keluhan serupa dari seorang siswa SD
kelas 3. Ketika ditanya mengapa kemacetan terjadi, si anak menjawab karena
begitu banyak mobil dan ukurannya besar. Kemudian penulis bertanya cara untuk
mengatasi masalah tersebut. Si anak melanjutkan bahwa harus ada mobil ukuran
kecil yang bisa terbang. Penulis kemudian memberikan secarik kertas kepada si
anak untuk menggambarkan mobil idealnya. Mungkin idenya terkesan khayal. Tetapi
bukankah kreatifitas memang sering dimulai dari sebuah khayalan? Biarkan anak
berimajinasi karena memang itu salah satu modal yang mereka punya untuk
berkreasi.
Pendidikan
kreatif tidaklah mahal dan hanya dimiliki oleh sekolah-sekolah (yang dianggap)
favorit dan bertaraf international
serta berlabel plus. Pendidikan
kreatif dapat dilakukan oleh siapapun, di manapun dan kapanpun. Selalu ada
banyak kesempatan untuk selalu menyisipkan pertanyaan-pertanyaan sederhana
(namun cerdas) yang membuat anak didik untuk berpikir kreatif. Bertanyalah
selalu mengapa dan bagaimana kepada mereka. Ajaklah mereka untuk berpikir
kritis dan bukan hanya menghapal. Lambat laun, kebiasaan berpikir dan bertindak
kreatif akan terinternalisasi dan muncul dalam setiap kali anak-anak kita
menganalisa masalah. Jangan lagi kita membebani anak-anak kita untuk menghapal terlalu
banyak informasi yang padahal Google
bisa membantu untuk menyimpan serta membukanya kembali jika diperlukan. Dan jika
memang Ujian Nasional tetap akan ada dalam sistem pendidikan nasional kita,
janganlah kita menyerah dengan hanya mengajar anak didik kita demi mampu
menjawab soal-soal Ujian Nasional. Ajarlah mereka apa yang mereka layak
dapatkan dan perlukan. Ajarlah anak-anak kita apa yang Google tidak mampu ajarkan. Mari, para pendidik dan orang tua, kita
kalahkan Google demi masa depan
anak-anak kita yang lebih baik.
Daftar Pustaka:
1.Bloom, B.S., Engelhart, M.D., Furst,
E.J., Hill, W.H., & Krathwohl, D.R., (Eds.). (1956). Taxonomy of educational objectives: The classification of educational
goals. Handbook i: Cognitive domain. New
York: David McKay.
Hampir setiap
orang pasti mempunyai tujuan hidup entah jangka panjang maupun jangka pendek.
Tujuan ini tidaklah melulu dimiliki oleh anak kecil, seperti yang dikenal
dengan istilah cita-cita, namun juga sewajarnya dimiliki oleh orang dewasa atau
bahkan orang tua. Intinya, tujuan hidup menerobos batas usia. Setiap orang yang
ingin hidupnya terarah, teratur dan bergerak maju biasanya mempunyai rencana
tindakan yang nyata dalam kehidupannya, dan tidak hanya ‘go with the flow’ (baca: mengalir) saja.
Yang jadi masalah,
terkadang rencana tinggalah rencana, cita-cita tinggalah cita-cita. Tujuan
hidup hanyalah menjadi sebatas angan yang tak kunjung tiba jika tanpa dibarengi
dengan upaya untuk mewujudkan cita-cita itu sendiri.
Saya pernah
diundang untuk mengisi acara workshop
motivasi di sebuah SMP di daerah Ciputat. Pertanyaan besar yang saat itu harus
saya jawab dan sharing-kan dengan
siswa-siswi SMP di sekolah itu adalah “Bagaimana
caranya untuk meraih cita-cita?” Sebuah pertanyaan yang jelas bukan
matematis yang mempunyai sebuah jawaban pasti, namun pertanyaan yang jawabannya
sangatlah bervariasi tergantung dari banyak faktor misalnya bentuk cita-cita
itu sendiri, kemampuan personal, akademik, finansial dll. Namun setidaknya,
saya selalu mempunyai jawaban (yang mungkin klise dan terlalu general) yang bisa menjadi acuan langkah
dalam meraih cita-cita.
“Bagaimana
meraih cita-cita?”
Jawabannya sederhana yaitu, “KETAWA De…” Mudah kan? J Namun ketawa di sini bukanlah dalam arti harafiah
melainkan sebuah akronim dari KEmauan, TArget, WAktu, dan Diri. Saya akan
uraikan satu per satu secara singkat.
Kemauan
Kemauan merupakan syarat awal yang harus
dimiliki untuk berubah. Tanpa kemauan niscaya upaya yang dilakukan tidak akan
pernah maksimal hasilnya (di sini saya tidak berbicara tentang faktor
keberuntungan). Kita membuat tujuan hidup pasti karena ingin adanya sebuah
perubahan. Dan perubahan itu sendiri tidak serta merta datang begitu saja namun
memerlukan sebuah upaya untuk mencapainya. Upaya yang serius tidak akan pernah
muncul jika tanpa disertai dengan kemauan. Saya teringat ketika saya masih
merokok dan mencoba untuk berhenti merokok namun tanpa saya sertai dengan
kemauan yang ada dalam diri saya (baca: hanya sekedar iseng). Hasilnya tentu
saja nihil. Namun ketika keinginan itu saya sertai dengan sebuah kemauan,
sesulit apapun (baca: hingga keluar masuk rumah sakit) hasilnya sebuah
kesuksesan (saya sudah 2,5 tahun tidak merokok lagi...lumayan!) J
Target
Setelah kita mempunyai kemauan untuk
berubah, kita harus membuat target, yaitu tujuan yang ingin kita capai dalam
kurun waktu tertentu. Target ini bisa dalam jangka pendek maupun panjang.
Misalnya, saya harus dapat nilai minimal 90 dalam pelajaran Bahasa Inggris
(jangka pendek), saya harus bisa membuka usaha sendiri dalam kurun 5 tahun ini
(jangka panjang).
Kemauan yang keras tanpa target hanyalah
akan menjadi sebuah aktifitas tanpa arah. Kita harus mampu menyalurkan energi
positif (baca: semangat) kita secara tepat dan tidak terbuang percuma.
Waktu
Syarat yang ketiga adalah waktu. Waktu
tidak akan pernah berubah, 1 menit selalu 60 detik, 1 jam selalu 60 menit dan 1
hari selalu 24 jam. Kita jelas tidak mungkin bisa mengubahnya. Yang bisa kita
lakukan adalah bagaimana kita menyesuaikan diri dengan waktu yang ada.
Pendeknya, aturlah waktu sepintar dan sebijak mungkin. Target yang sudah kita
buat, hendaknya diberikan sebuah timeline
(tenggat waktu) yang realistis yaitu kapan target ini diwujudkan serta kapan
memulai aksi untuk mewujudkannya. Misalnya, jika kita ingin dalam 3 tahun ke
depan mempunyai lembaga kursus sendiri. Dalam kurun 3 tahun ini, bagaimana kita
mengatur waktu untuk mempersiapkan mewujudkan mimpi itu. Apakah tahun ke-1
untuk mempersiapkan survei pasar dan mempelajari kurikulum? Tahun ke-2 untuk
membuat modul? Tahun ke-3 mempersiapkan infrastruktur? Dll. Waktu sangatlah
vital dalam sebuah keberhasilan. Banyak orang sukses di dunia ini karena mereka
terlebih dulu sukses mengatur waktu mereka.
Diri
Yang terakhir adalah aturlah diri Anda
sebaik mungkin. Janganlah dianggap bahwa syarat yang terakhir ini mudah untuk
dilakukan melainkan sebaliknya, bagi banyak orang, mengatur diri adalah sebuah
tantangan yang luar biasa sulit untuk dilakukan. So, bagaimana caranya? Kenali diri Anda sendiri,
potensi apa yang Anda miliki untuk mendukung terwujudnya cita-cita Anda. Fokuslah pada tujuan. Lakukan berbagai hal
yang berkaitan dengan cita-cita Anda. Jangan mudah terpengaruh. Selalu
bangkitnya semangat Anda. Berikan penghargaan untuk diri Anda sendiri jika ada
target yang berhasil Anda kerjakan. Dan yang terutama, janganlah menyerah hanya
karena beberapa kegagalan. Ingat, ”gagal
itu biasa, yang luar biasa adalah bangkit dari kegagalan itu sendiri”
(anonymous).
Keempat hal yang saya
rangkum menjadi sebuah frase ”KETAWA DE...” ini saya yakini
relevan untuk dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Sebuah rangkaian
strategi sederhana (dan mudah diingat) untuk membantu mewujudkan cita-cita. Silahkan
dipraktekkan dan di sharing-kan. Semoga
berguna!
Kepemimpinan heroik yang tercemin pada kehidupan dan kinerja para anggota Serikat Jesuit merujuk pada sebuah konsep kepemimpinan yang tidak terpaku pada satu orang besar saja melainkan merupakan konsep kepemimpinan yang dapat dimiliki oleh setiap individu. Bertumpu pada empat pilar kepemimpinan yang disarikan oleh Chris Lowney yaitu kesadaran diri, ingenuitas, cinta dan heroisme, seseorang akan mampu menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri dan orang lain. Adalah sangat ideal jika model kepemimpinan heroik ini dapat mulai dikembangkan pada anak sejak usia dini yaitu pada level pendidikan dasar. Berangkat pada tesis tersebut, makalah ini akan membahas bagaimana mengembangkan kepemimpinan heroik pada siswa Sekolah Dasar.
Kata kunci: kepemimpinan heroik, kesadaran diri, ingenuitas, cinta, heroisme
Pendahuluan
Kepemimpinan merupakan bagian inheren dari kehidupan manusia. Northouse menjelaskan bahwa kepemimpinan berkaitan erat dengan kemampuan mengatur, diri maupun orang lain, guna mencapai tujuan tertentu (1997:2-3). Dalam bukunya “Heroic Leadership”, Lowney menyebutkan bahwa setiap orang pada dasarnya adalah pemimpin yang memimpin sepanjang hidupnya (2005:18). Lowney juga menguraikan dengan jelas cara kerja prinsip-prinsip kepemimpinan yang dikembangkan oleh Serikat Jesuit yang membuat mereka tetap eksis selama lebih dari 500 tahun sebagai sebuah “perusahaan” religius yang tersebar di seluruh dunia.
Lowney menyebutkan bahwa dalam praktek-praktek yang dijalankan para anggota Serikat Jesuit termuat empat pilar utama kepemimpinan yang menjadikan mereka menjadi sebuah organisasi yang solid dan militan. Keempat pilar itu adalah kesadaran diri, ingenuitas, cinta, dan heroisme. Makalah ini bertujuan untuk membahas bagaimana mengembangkan keempat pilar kepemimipinan heroik, seperti yang tercermin pada kehidupan anggota Serikat Jesuit, kepada siswa Sekolah Dasar.
Konsep Kepemimpinan Menurut Jesuit
Jesuit mengembangkan konsep kepemimpinan yang berbeda dengan konsep kepemimpinan pada umumnya dimana sering kali hanya mensyaratkan adanya satu orang besar, strategi-strategi, tim-tim, serta momen-momen besar. Kepemimpinan yang dikembangkan Jesuit bukan hanya sekedar teknik dan taktik melainkan berkaitan pula dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai personal sesorang dalam memaknai kehidupannya yang luas. Kepemimpinan Jesuit menolak model kepemimpinan perintah dan control (2005:17). Lowney dengan jelas menggambarkan konsep kepemimpinan Jesuit sebagai berikut:
1.Kita semua pemimpin, dan kita semua memimpin sepanjang waktu, dengan cara yang baik atau buruk.
Kepemimpinan keluar dari dalam. Halnya tidak hanya berkaitan dengan apa yang kulakukan melainkan juga dengan siapa aku.
Kepemimpinan bukan suatu tindakan. Kepemimpinan ialah hidupku, suatu cara hidup.
Aku tak pernah merampungkan tugas menjadi pemimpin. Kepemimpinan merupakan sebuah proses yang berlangsung terus-menerus.
Empat Pilar Kepemimpinan Heroik
Empat pilar kepemimpinan heroik tidak pernah secara eksplisit dinyatakan oleh para Serikat Jesuit, atau bahkan oleh Ignatius Loyola sebagai pendiri Serikat Jesuit. Lowney menyaripatikan konsep kepemimpinan Serikat Jesuit berdasarkan hasil keterlibatan dia sebagai mantan anggota Jesuit.
Keempat pilar kepemimpinan heroik ini dapat diartikan sebagai berikut:
Kesadaran Diri: Memahami kekuatan, kelemahan, nilai-nilai dan pandangan hidup diri sendiri.
Ingenuitas: Kemampuan untuk berinovasi dan beradaptasi dengan penuh keyakinan terhadap dunia yang terus berubah.
Cinta: Kesediaan untuk terlibat dengan, dan melibatkan, orang lain dengan sikap positif yang memungkinkan perkembangan potensi dan bakat terpendam mereka.
Heroisme: Menyemangati diri sendiri dan orang lain dengan ambisi-ambisi dan hasrat-hasrat heroik untuk melakukan segala sesuatu secara tuntas dan prima.
Mengembangkan Empat Pilar Kepemimpinan Heroik
Lowney mengatakan bahwa untuk memahami keempat pilar kepemimpinan heroik ini, seseorang perlu memilah-milah masaing-masing pilar untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam. Namun kemudian, dalam penerapannya, keempat pilar ini diintegrasikan kembali karena kesemuanya merupakan kesatupaduan yang tidak dapat dijalankan secara terpisah (2005:41).
Sama halnya dengan pemahaman dan penerapannya, dalam mengembangkan kepemimpinan heroik pada siswa, pengajaran-pengajaran yang berkaitan dengan keempat pilar ini dapat juga dilakukan secara terpisah namun di waktu yang juga perlu diintegrasikan kembali dan dikaitkan dengan pilar-pilar yang lain supaya siswa mendapatkan pemahaman bahwa keempat pilar ini sebenarnya suatu kesatuan prinsip yang tidak dapat terpisahkan.
Pelatihan untuk mengembangkan kepemimpinan heroik bukanlah merupakan suatu pelatihan yang sekali jadi, namun merupakan sebuah proses pelatihan yang terus berkelanjutan. Mengacu pada apa yang dikatakan Lowney bahwa konsep kepemimpinan heroik menurut Serikat Jesuit merupakan proses yang berlangsung terus-menerus dan tidak akan pernah selesai (2005:24) maka pelatihan pengembangan konsep kepemimpinan ini pada siswa SD harus merupakan bagian yang terintegrasi pada kegiatan pembelajaran internal di dalam sekolah.
Kepemimpinan adalah milik setiap orang. Kepemimpinan tidak melulu berkaitan dengan satu orang besar dan peristiwa besar. Pada dasarnya setiap orang adalah pemimpin entah dengan cara baik atau buruk. Berdasar pada asumsi tersebut, maka kepemimpinan heroik pun dapat dan bahkan sebaiknya dilatihkan pada anak sejak dini.
Pihak sekolah maupun guru dapat mengembangkan konsep kepemimpinan ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari. Berikut akan diuraikan bagaimana mengembangkan empat pilar kepemimpinan heroik pada siswa SD.
1. Mengembangkan Kesadaran Diri
Kunci dari kesadaran diri adalah kemampuan seseorang untuk mengenal pribadinya berikut kelebihan, kelemahan, nilai serta visi personal yang dianut. Seseorang yang dapat mengenali dirinya secara benar serta mampu mengartiikulasikan keinginan-keinginan yang ingin dicapainya akan mempunyai motivasi yang besar untuk mencapainya, Selain itu, seseorang yang tahu siapa dirinya akan mampu pula mengilhami orang lain untuk berbuat hal yang serupa. Kemampuan ini mensyaratkan juga sebuah kebiasaan melakukan refleksi diri.
Pada siswa SD, kebiasaan ini dapat dikembangkan melalui pengadaan Waktu Refleksi Diri Harian (Daily Self-Reflection Time). Pada setiap akhir jam sekolah sebelum pulang, siswa diberikan waktu selama kurang lebih 15 menit untuk merenungkan apa yang telah dilakukannya pada hari itu baik yang baik maupun yang buruk. Anak diminta untuk mengisi sebuah Catatan Refleksi Diri Harian (Daily Self-Reflection Log) dengan beberapa kalimat pendek tentang bagaimana perasaan mereka atas semua yang dialami hari itu, kejadian yang paling berkesan pada hari itu serta permasalahan yang muncul dan dihadapi pada hari itu.
Catatan Refleksi Diri Harian
Perbuatan baik yang saya lakukan
Perbuatan jelek yang saya lakukan
Kejadian yang saya suka
Kejadian yang saya tidak suka
Masalah yang saya temukan
Cara saya mengatasi masalah
Perasaan saya
Hal lain yang bisa dilakukan yaitu ketika siswa melakukan pelanggaran terhadap peraturan sekolah atau kelas, bentuk pendisiplinan yang bisa dilakukan dengan memberikan “Time Out” yaitu siswa tidak mendapatkan waktu bermain pada hari itu namun diminta untuk pergi ke suatu ruangan/kelas khusus, yang diawasi guru, untuk merenung dan berefleksi. Dalam hal ini guru penjaga dapat pula membantu dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan atau melakukan diskusi reflektif dengan siswa tersebut.
Proses seperti ini akan menumbuhkan kebiasaan refleksi diri pada siswa yang akan mengarahkannya untuk lebih mengenali diri, membuka potensi diri serta membuat tujuan pribadi yang ingin dicapainya. Kesadaran diri bukanlah merupakan produk yang sekali jadi. Hal ini berkorelasi erat dengan konsep bahwa kepemimpinan adalah proses yang berlangsung terus menerus. Jika pembiasaan-pembiasaan di sekolah yang terinternalisasi, dengan sadar maupun tidak, oleh siswa maka siswa akan tumbuh menjadi pribadi yang peka dan dinamis karena dia benar-benar paham tentang siapa dirinya serta mampu membangun visi personalnya. Seorang pemimpin yang sukses adalah seseorang yang mampu membangun visi personalnya sebagai panduan menuju tujuan jangka panjang (Nanus 1992:xxii).
Lowney mengilustrasikan pribadi yang mampu mengenali dirinya dengan mengatakan bahwa tidak ada seorang pun dapat menjadi guru, pemain biola atau siapapun juga secara kebetulan (2005:111). Pribadi tersebut benar-benar mengenali kelemahan dirinya yang selanjutnya dipakai untuk menanganinya serta mengalahkannya. Oleh karenanya, guru harus mampu membuat suasana saling mendukung di dalam kelas dimana kegagalan dalam mengerjakan sesuatu yang dilakukan oleh siswa merupakan suatu sarana untuk membangkitkan motivasinya untuk melakukan yang lebih baik lagi. Sama halnya jika siswa berhasil melakukan sesuatu dengan baik, guru harus dapat mengarahkan siswa untuk menjadikan momen tersebut sebagai sebuah keberhasilan juga atas kesadaran diri atas potensi yang dimilikinya.
2. Mengembangkan Ingenuitas
Penerapan ingenuitas untuk orang awam terlebih siswa SD tentu saja sangat berbeda dengan apa yang diterapkan oleh para Jesuit. Para Jesuit benar-benar melepaskan semua bentuk keterikatan duniawinya untuk mengabdi kepada Allah termasuk keterikatan pada keluarga. Tentu saja, orang awam tidak akan mampu melepaskan keterikatannya seekstrim itu. Ingenuitas pada orang awam lebih pada kemampuan seseorang untuk melakukan adaptasi dan fleksibilitas terhadap dunia sekelilingnya. Seseorang yang memiliki ingenuitas akan selalu merasa nyaman, dan bahkan mampu membuat orang lain juga merasa nyaman, walaupun dunia sekelilingnya berubah.
Ingenuitas pada siswa dapat dikembangkan jika siswa juga memahami bahwa dunia selalu terus berubah, untuk itu diperlukan kemampuan menyesuaikan dan bahkan ikut terlibat aktif dalam perubahan itu. Siswa dapat diberikan contoh yang faktual misalnya kemajuan teknologi yang begitu pesat sehingga banyak sekali aspek kehidupan yang dilakukan dengan menggunakan komputer. Pemahaman ini memungkinkan siswa untuk mengadopsi kelakuan, sikap, dan pandangan hidup yang memungkinkan kemampuan untuk beradaptasi dan berkreasi.
Pendidikan yang menekankan pada pertumbuhan daya kreativitas siswa juga akan membantu mengembangkan ingenuitas siswa. Pendidikan seperti ini menitikberatkan proses pembelajarannya pada kemampuan anak untuk mempunyai kemampuan melihat peluang, mengambil keputusan dan mencipta. Seseorang yang mempunyai karakteristik seperti ini akan lebih mudah beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di sekelilingnya.
Pendidikan kreatif semacam ini mensyaratkan adanya siklus pembelajaran (learning cycle) yang diharapkan akan membentuk kebiasaan siswa untuk berpikir kreatif yang terus-menerus dilakukan dalam setiap tema pelajaran. Dalam proses pembelajaran, siswa dilatih untuk mengekplorasi dan menganalisa permasalahan, yang selanjutnya berusaha menciptakan peluang dari kesempatan yang ada. Kemudian, siswa dilatih untuk melakukan aksi guna menghasilkan produk (dapat berupa produk material maupun gagasan). Setelah produk dihasilkan, siswa diberikan kesempatan untuk mengkomunikasikan atau mempresentasikan produk yang dihasilkan. Pada akhirnya siswa akan melakukan refleksi serta evaluasi atas apa yang telah dilakukan serta dihasilkan. Siklus ini akan berlangsung secara terus-menerus.
LEARNING CYCLE
EXPLORING PLANNING
REFLECTING PRODUCING
COMMUNICATING
Dengan menerapkan proses pembelajaran seperti ini, sekolah akan mampu meluluskan siswa dengan kemampuan kreatif yang mampu menghadapi perubahan terhadap di dalam kehidupannya. Siswa akan mempunyai kemampuan untuk menganalisa keadaan dan mencari peluang yang mengarahkannya pada suatu tindakan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain. Pada titik inilah, ingenuitas seseorang bekerja.
3. Mengembangkan Cinta
Cinta merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sebuah interaksi sosial yang harmonis. Lowney menggambarkan bahwa seseorang yang mendasarkan kehidupannya pada cinta akan terus selalu melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagai makhluk berharga, yang mempunyai potensi yang senantiasa perlu diterus dikembangkan (2005:37). Situasi sosial dimana di dalamnya orang berinteraksi harus dikondisikan untuk saling mendukung dan bergerak oleh cinta.
Untuk mengembangkan kemampuan ini pada siswa, guru harus dapat menjadi role model bagi siswa akan seseorang yang hidupnya digerakkan oleh cinta. Dalam kesehariannya, guru harus mampu menunjukkan cintanya kepada semua siswa. Siswa dibangunkan semangatnya untuk berani memunculkan dan mengembangkan potensinya. Guru menciptakan suasana saling mendukung dan membantu dengan terus mengingatkan siswa arti penting dari situasi seperti itu. Kedisiplinan yang diterapkan guru pun bukan dibangun atas ketakutan siswa melainkan oleh cinta.
Guru juga dapat memberikan ilustrasi kepada siswa dengan bermain peran (role play) dan studi kasus. Hal ini dapat memberikan gambaran kepada siswa apa yang sebaiknya atau bisa dilakukan untuk menunjukkan cinta kepada diri sendiri dan orang lain. Diskusi atau analisa bisa dilakukan secara individual maupun kelompok. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam pelajaran Character Building secara khusus maupun terintegrasi pada seluruh mata pelajaran karena pada dasarnya cakupan cinta terhadap diri sendiri dan orang lain begiitu luas yaitu meliputi tanggung jawab, toleransi, perhatian, kepekaan sosial, dan kejujuran.
Guru juga dapat melakukan pembiasaan untuk bekerja di dalam kelompok dalam mengerjakan tugas. Dalam kelompok kerja tersebut, guru dapat mengajarkan kepada siswa bagaimana pentingnya melibatkan diri serta orang lain dalam mengerjakan suatu tugas. Juga dibiasakan siswa untuk menciptakan suasana saling mendukung dan membantu dalam kelompok kerja tersebut.
4. Mengembangkan Heroisme
Heroisme merupakan sikap yang selalu berusaha melakukan yang terbaik dan memberikan lebih. Seseorang yang memiliki heroisme selalu gelisah dan tidak puas dengan apa yang sudah dilakukan. Dia akan terus berusaha mencari peluang dan sarana untuk mendedikasikan dirinya melalui perbuatannya terhadap kehidupan personal, sosial dan spiritualnya.
Untuk mengembangkan heroisme pada siswa, guru dapat mengajarkannya melalui cerita-cerita tokoh-tokoh inspirasional. Dengan variatif, guru dapat melakukannya melalui kegiatan story-telling, movie-watching, atau memberikan tugas pada siswa untuk mencari dan menganalisa sendiri tokoh-tokoh inspirasional. Penekanan perlu dilakukan pada momen atau tindakan yang mencerminkan kemampuan tokoh tersebut untuk selalu berusaha memberikan “lebih” dan mendedikasikan dirinya pada kehidupan spiritual maupun sosial.
Siswa juga dapat diberikan kesempatan untuk membagi cerita tentang tokoh-tokoh idola mereka. Mereka diarahkan untuk mampu memberikan alasan mengapa tokoh-tokoh tersebut dapat menjadi idola mereka, serta menunjukkan sifat-sifat yang disukai dari tokoh-tokoh tersebut.
Secara periodik (dapat dilakukan mingguan ataupun bulanan) siswa diminta untuk membuat “Pohon Niat” dimana didalamnya siswa menuliskan niat yang ingin mereka capai dalam kurun waktu tersebut (mingguan atau bulanan). Selanjutnya, dalam aktifitas mereka sehari-hari, mereka akan selalu diingatkan tentang niat-niat yang ingin mereka capai tersebut.
Untuk dapat memaksimalkan potensi siswa untuk selalu dapat memberikan atau melakukan yang “lebih” sesuai dengan semangat heroisme, guru hendaknya berupaya untuk secara intensif memberikan tantangan yang sifatnya memotivasi kepada siswa guna mengoptimalkan kemampuannya dalam mengerjakan sesuatu. Stimulus-stimulus baik verbal maupun non verbal selalu mengiringi setiap proses pembelajaran di sekolah.
Mengintegrasikan Empat Pilar
Keempat pilar dalam penerapannya tidak dapat dipisahkan, mereka merupakan paduan yang terintegrasi. Dalam mengembangkan keempat pilar ini pada siswa juga perlu momen di mana guru mampu menyampaikan kepada siswa bahwa keempat pilar ini saling terkait.
Pengembangan keempat pilar ini haruslah terintegrasi dalam proses pembelajaran setiap hari. Selain itu, situasi dan kondisi kelas juga perlu diciptakan untuk mendukung proses pengembangan ini. Ruangan kelas dapat dihias dengan nuansa kepemimpinan heroik ini. Mulai dari tulisan kata-kata bijak atau motivasi untuk mengarahkan siswa pada perilaku yang mencerminkan keempat pilar kepemimpinan heroik misalnya NEVER GIVE UP, RESPECT OTHERS, BE A CARING PERSON, dll. Poster-poster tentang tokoh-tokoh yang mencerminkan model kepemimpinan inipun dapat ditampilkan sebagai bagian dari dekorasi kelas misalnya Mother Teresa, Franxiscus Xaverius, Barrack Obama, Mahatma Gandhi dll.
Secara periodik, guru pun dapat memberikan penghargaan berupa label bergilir yaitu Heroic Leader of This Week. Label ini dimaksudkan untuk memotivasi siswa untuk selalu berusaha menerapkan keempat pilar tersebut dalam kehidupannya sehari-hari di sekolah. Oleh karenanya, kriteria penilaian yang dipakai adalah skala sikap siswa yang terekam oleh guru. Siswa yang mendapatkan label ini diharapkan mampu menjadi role model bagi teman-temannya untuk mengaktualisasikan keempat pilar tersebut.
Kecenderungan siswa SD adalah sangat senang dan bersemangat melakukan suatu tindakan yang memungkinkan mereka mendapatkan reward atau dampak yang positif. Dalam kesehariannya, guru dapat menerapkan sistem reward atau poin dimana siswa akan diberikan reward atau poin jika melakukan tindakan yang mencerminkan keempat pilar tersebut. Sebaliknya, jika siswa melakukan tindakan yang melanggar prinsip keempat pilar tersebut maka guru dapat mengurangi reward atau poin mereka. Pemberian reward atau poin, juga akan lebih efektif jika disertai pujian verbal yang akan membesarkan hati dan menyemangati siswa untuk selalu berusaha bertindak yang baik karena perbuatan baik yang dilakukan siswa dapat juga menghilang jika tidak diindahkan.
Observasi guru terhadap perilaku siswa tentang penerapan empat pilar kepemimpinan ini secara periodik (dapat dilakukan secara bulanan) tercatat dalam sebuah skala sikap yang dikomunikasikan dengan siswa serta orang tua siswa. Rubrik ini diharapkan mampu menjadi sebuah rekaman kemajuan sikap dan perilaku siswa yang dapat memberikan gambaran tentang sikap dan perilaku tertentu yang sudah baik dilakukan serta yang perlu ditingkatkan.
Rubrik Penilaian Sikap Kepemimpinan Heroik
Pilar Kepemimpinan
Indikator Perilaku
Poin
1
2
3
4
Kesadaran Diri
Mengidentifikasi kelebihan-kelebihan diri
Mengidentifikasi kelemahan-kelemahan diri
Menetapkan tujuan-tujuan diri
Menentukan langkah-langkah untuk mencapai tujuan diri
Melakukan evaluasi diri atas tugas yang telah dikerjakan
Ingenuitas
Mengidentifikasi permasalahan
Menganalisa dan mencari solusi
Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan orang lain
Mengerjakan tugas secara mandiri
Percaya diri dalam mengemukakan pendapat dan mengerjakan tugas
Cinta
Melibatkan diri dalam interaksi sosial
Memberi dukungan kepada orang lain dalam hal yang positif
Memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan
Menaati peraturan kelas dan sekolah
Bekerja sama dalam kelompok kerja
Heroisme
Memotivasi diri untuk tidak mudah putus asa dan berbuat lebih baik lagi
Memotivasi orang lain untuk tidak mudah putus asa dan berbuat lebih baik lagi
Bekerja keras
Terlibat aktif dalam diskusi dan kegiatan kelas
Mencari dan menemukan peluang
Penutup
Konsep kepemimpinan heroik melalui empat pilar kepemimpinannya menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah milik semua orang. Kepemimpinan tidaklah selalul identik dengan satu orang besar serta peristiwa hebat. Kepemimpinan heroik berlangsung sepanjang hidup serta tak pernah usai. Oleh karenanya, konsep kepemimpinan ini sangatlah perlu ditanamkan sejak dini pada siswa SD. Pengembangan kepemimpinan ini bukan merupakan sebuah proses instan melainkan perlu diintegrasikan dalam kegiatan belajar mengajar yang berlangsung terus-menerus.
Peranan guru sangat vital dalam pengembangan empat pilar kepemimpinan heroik ini. Guru dituntut untuk mempunyai pemahaman tentang empat pilar kepemimpinan ini. Selanjutnya, guru harus mampu mengemas aktivitas pembelajaran yang dapat menjadi sarana pengembangan kepemimpinan ini. Guru pun dituntut mampu membuat kondisi serta situasi kelas yang menjadi stimulus yang mengarahkan sikap dan perilaku siswa mengembangkan empat pilar ini. Komunikasi haruslah dibangun secara intensif dengan siswa serta orang tua atas kemajuan sikap dan perilaku siswa atas keempat pilar ini. Sosok guru juga diharapkan mampu menjadi role model bagi siswa.
Daftar Pustaka
Gabriel, J.G., How to Thrive As A Teacher Leader, Alexandria, ASCD, 2005
Johnson, S. & Johnson, C., The One Minute Teacher, Jakarta, Penerbit Erlangga, 2005
Lowney, C., Heroic Leadership: Praktik Terbaik “Perusahaan” Berumur 450 Tahun yang Mengubah Dunia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2005
Marzano, R.J., What Works in Schools: Translating Research into Action, Alexandria, ASCD, 2003
Marzano, R.J., Waters, T. & McNulty, B.A., School Leadership That Works: From Research to Results, Alexandria, ASCD & McREL, 2005
Nanus, B., Visionary Leadership: Creating a Compelling Sense of Direction for Your Organization, San Fransisco, Jossey-Bass Publishers, 1992
Northouse, P.G., Leadership: Theory and Practice, California, Sage Publications, 1997
Pockell, L. & Avila, A.,(ed), The 100 Greatest Leadership Principles of All Time, New York, Warner Books, 2007
Smith, S.C. & Piele, P.K., School Leadership: Handbook for Excellence in Student Learning, California, Corwin Press, 2006