Laman

Minggu, 31 Juli 2011

MENGEMBANGKAN KEPEMIMPINAN HEROIK PADA SISWA SEKOLAH DASAR

-->
Abstrak
Kepemimpinan heroik yang tercemin pada kehidupan dan kinerja para anggota Serikat Jesuit merujuk pada sebuah konsep kepemimpinan yang tidak terpaku pada satu orang besar saja melainkan merupakan konsep kepemimpinan yang dapat dimiliki oleh setiap individu. Bertumpu pada empat pilar kepemimpinan yang disarikan oleh Chris Lowney yaitu kesadaran diri, ingenuitas, cinta dan heroisme, seseorang akan mampu menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri dan orang lain. Adalah sangat ideal jika model kepemimpinan heroik ini dapat mulai dikembangkan pada anak sejak usia dini yaitu pada level pendidikan dasar. Berangkat pada tesis tersebut, makalah ini akan membahas bagaimana mengembangkan kepemimpinan heroik pada siswa Sekolah Dasar.
Kata kunci: kepemimpinan heroik, kesadaran diri, ingenuitas, cinta, heroisme

Pendahuluan
Kepemimpinan merupakan bagian inheren dari kehidupan manusia. Northouse menjelaskan bahwa kepemimpinan berkaitan erat dengan kemampuan mengatur, diri maupun orang lain, guna mencapai tujuan tertentu (1997:2-3). Dalam bukunya “Heroic Leadership”, Lowney menyebutkan bahwa setiap orang pada dasarnya adalah pemimpin yang memimpin sepanjang hidupnya (2005:18). Lowney juga menguraikan dengan jelas cara kerja prinsip-prinsip kepemimpinan yang dikembangkan oleh Serikat Jesuit yang membuat mereka tetap eksis selama lebih dari 500 tahun sebagai sebuah “perusahaan” religius yang tersebar di seluruh dunia.
Lowney menyebutkan bahwa dalam praktek-praktek yang dijalankan para anggota Serikat Jesuit termuat empat pilar utama kepemimpinan yang menjadikan mereka menjadi sebuah organisasi yang solid dan militan. Keempat pilar itu adalah kesadaran diri, ingenuitas, cinta, dan heroisme. Makalah ini bertujuan untuk membahas bagaimana mengembangkan keempat pilar kepemimipinan heroik, seperti yang tercermin pada kehidupan anggota Serikat Jesuit, kepada siswa Sekolah Dasar.
Konsep Kepemimpinan Menurut Jesuit
Jesuit mengembangkan konsep kepemimpinan yang berbeda dengan konsep kepemimpinan pada umumnya dimana sering kali hanya mensyaratkan adanya satu orang besar, strategi-strategi, tim-tim, serta momen-momen besar. Kepemimpinan yang dikembangkan Jesuit bukan hanya sekedar teknik dan taktik melainkan berkaitan pula dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai personal sesorang dalam memaknai kehidupannya yang luas. Kepemimpinan Jesuit menolak model kepemimpinan perintah dan control (2005:17).  Lowney dengan jelas menggambarkan konsep kepemimpinan Jesuit sebagai berikut:
1.      Kita semua pemimpin, dan kita semua memimpin sepanjang waktu, dengan cara yang baik atau buruk.
  1. Kepemimpinan keluar dari dalam. Halnya tidak hanya berkaitan dengan apa yang kulakukan melainkan juga dengan siapa aku.
  2. Kepemimpinan bukan suatu tindakan. Kepemimpinan ialah hidupku, suatu cara hidup.
  3. Aku tak pernah merampungkan tugas menjadi pemimpin. Kepemimpinan merupakan sebuah proses yang berlangsung terus-menerus.

Empat Pilar Kepemimpinan Heroik
Empat pilar kepemimpinan heroik tidak pernah secara eksplisit dinyatakan oleh para Serikat Jesuit, atau bahkan oleh Ignatius Loyola sebagai pendiri Serikat Jesuit. Lowney menyaripatikan konsep kepemimpinan Serikat Jesuit berdasarkan hasil keterlibatan dia sebagai mantan anggota Jesuit.
Keempat pilar kepemimpinan heroik ini dapat diartikan sebagai berikut:
  1. Kesadaran Diri: Memahami kekuatan, kelemahan, nilai-nilai dan pandangan hidup diri sendiri.
  2. Ingenuitas: Kemampuan untuk berinovasi dan beradaptasi dengan penuh keyakinan terhadap dunia yang terus berubah.
  3. Cinta: Kesediaan untuk terlibat dengan, dan melibatkan, orang lain dengan sikap positif yang memungkinkan perkembangan potensi dan bakat terpendam mereka.
  4. Heroisme: Menyemangati diri sendiri dan orang lain dengan ambisi-ambisi dan hasrat-hasrat heroik untuk melakukan segala sesuatu secara tuntas dan prima.

Mengembangkan Empat Pilar Kepemimpinan Heroik
Lowney mengatakan bahwa untuk memahami keempat pilar kepemimpinan heroik ini, seseorang perlu memilah-milah masaing-masing pilar untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam. Namun kemudian, dalam penerapannya, keempat pilar ini diintegrasikan kembali karena kesemuanya merupakan kesatupaduan yang tidak dapat dijalankan secara terpisah (2005:41).
Sama halnya dengan pemahaman dan penerapannya, dalam mengembangkan kepemimpinan heroik pada siswa, pengajaran-pengajaran yang berkaitan dengan keempat pilar ini dapat juga dilakukan secara terpisah namun di waktu yang juga perlu diintegrasikan kembali dan dikaitkan dengan pilar-pilar yang lain supaya siswa mendapatkan pemahaman bahwa keempat pilar ini sebenarnya suatu kesatuan prinsip yang tidak dapat terpisahkan.
Pelatihan untuk mengembangkan kepemimpinan heroik bukanlah merupakan suatu pelatihan yang sekali jadi, namun merupakan sebuah proses pelatihan yang terus berkelanjutan. Mengacu pada apa yang dikatakan Lowney bahwa konsep kepemimpinan heroik menurut Serikat Jesuit merupakan proses yang berlangsung terus-menerus dan tidak akan pernah selesai (2005:24) maka pelatihan pengembangan konsep kepemimpinan ini pada siswa SD harus merupakan bagian yang terintegrasi pada kegiatan pembelajaran internal di dalam sekolah.
Kepemimpinan adalah milik setiap orang. Kepemimpinan tidak melulu berkaitan dengan satu orang besar dan peristiwa besar. Pada dasarnya setiap orang adalah pemimpin entah dengan cara baik atau buruk. Berdasar pada asumsi tersebut, maka kepemimpinan heroik pun dapat dan bahkan sebaiknya dilatihkan pada anak sejak dini.
Pihak sekolah maupun guru dapat mengembangkan konsep kepemimpinan ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari. Berikut akan diuraikan bagaimana mengembangkan empat pilar kepemimpinan heroik pada siswa SD.

1. Mengembangkan Kesadaran Diri
Kunci dari kesadaran diri adalah kemampuan seseorang untuk mengenal pribadinya berikut kelebihan, kelemahan, nilai serta visi personal yang dianut. Seseorang yang dapat mengenali dirinya secara benar serta mampu mengartiikulasikan keinginan-keinginan yang ingin dicapainya akan mempunyai motivasi yang besar untuk mencapainya, Selain itu, seseorang yang tahu siapa dirinya akan mampu pula mengilhami orang lain untuk berbuat hal yang serupa. Kemampuan ini mensyaratkan juga sebuah kebiasaan melakukan refleksi diri.
Pada siswa SD, kebiasaan ini dapat dikembangkan melalui pengadaan Waktu Refleksi Diri Harian (Daily Self-Reflection Time). Pada setiap akhir jam sekolah sebelum pulang, siswa diberikan waktu selama kurang lebih 15 menit untuk merenungkan apa yang telah dilakukannya pada hari itu baik yang baik maupun yang buruk. Anak diminta untuk mengisi sebuah Catatan Refleksi Diri Harian (Daily Self-Reflection Log) dengan beberapa kalimat pendek tentang bagaimana perasaan mereka atas semua yang dialami hari itu, kejadian yang paling berkesan pada hari itu serta permasalahan yang muncul dan dihadapi pada hari itu.

Catatan Refleksi Diri Harian

Perbuatan baik yang saya lakukan

Perbuatan jelek yang saya lakukan

Kejadian yang saya suka

Kejadian yang saya tidak suka

Masalah yang saya temukan

Cara saya mengatasi masalah

Perasaan saya


            Hal lain yang bisa dilakukan yaitu ketika siswa melakukan pelanggaran terhadap peraturan sekolah atau kelas, bentuk pendisiplinan yang bisa dilakukan dengan memberikan “Time Out” yaitu siswa tidak mendapatkan waktu bermain pada hari itu namun diminta untuk pergi ke suatu ruangan/kelas khusus, yang diawasi guru, untuk merenung dan berefleksi. Dalam hal ini guru penjaga dapat pula membantu dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan atau melakukan diskusi reflektif dengan siswa tersebut.
            Proses seperti ini akan menumbuhkan kebiasaan refleksi diri pada siswa yang akan mengarahkannya untuk lebih mengenali diri, membuka potensi diri serta membuat tujuan pribadi yang ingin dicapainya. Kesadaran diri bukanlah merupakan produk yang sekali jadi. Hal ini berkorelasi erat dengan konsep bahwa kepemimpinan adalah proses yang berlangsung terus menerus. Jika pembiasaan-pembiasaan di sekolah yang terinternalisasi, dengan sadar maupun tidak, oleh siswa maka siswa akan tumbuh menjadi pribadi yang peka dan dinamis karena dia benar-benar paham tentang siapa dirinya serta mampu membangun visi personalnya. Seorang pemimpin yang sukses adalah seseorang yang mampu membangun visi personalnya sebagai panduan menuju tujuan jangka panjang (Nanus 1992:xxii).
            Lowney mengilustrasikan pribadi yang mampu mengenali dirinya dengan mengatakan bahwa tidak ada seorang pun dapat menjadi guru, pemain biola atau siapapun juga secara kebetulan (2005:111). Pribadi tersebut benar-benar mengenali kelemahan dirinya yang selanjutnya dipakai untuk menanganinya serta mengalahkannya. Oleh karenanya, guru harus mampu membuat suasana saling mendukung di dalam kelas dimana kegagalan dalam mengerjakan sesuatu yang dilakukan oleh siswa merupakan suatu sarana untuk membangkitkan motivasinya untuk melakukan yang lebih baik lagi. Sama halnya jika siswa berhasil melakukan sesuatu dengan baik, guru harus dapat mengarahkan siswa untuk menjadikan momen tersebut sebagai sebuah keberhasilan juga atas kesadaran diri atas potensi yang dimilikinya.
           
2. Mengembangkan Ingenuitas
Penerapan ingenuitas untuk orang awam terlebih siswa SD tentu saja sangat berbeda dengan apa yang diterapkan oleh para Jesuit. Para Jesuit benar-benar melepaskan semua bentuk keterikatan duniawinya untuk mengabdi kepada Allah termasuk keterikatan pada keluarga. Tentu saja, orang awam tidak akan mampu melepaskan keterikatannya seekstrim itu. Ingenuitas pada orang awam lebih pada kemampuan seseorang untuk melakukan adaptasi dan fleksibilitas terhadap dunia sekelilingnya. Seseorang yang memiliki ingenuitas akan selalu merasa nyaman, dan bahkan mampu membuat orang lain juga merasa nyaman, walaupun dunia sekelilingnya berubah.
Ingenuitas pada siswa dapat dikembangkan jika siswa juga memahami bahwa dunia selalu terus berubah, untuk itu diperlukan kemampuan menyesuaikan dan bahkan ikut terlibat aktif dalam perubahan itu. Siswa dapat diberikan contoh yang faktual misalnya kemajuan teknologi yang begitu pesat sehingga banyak sekali aspek kehidupan yang dilakukan dengan menggunakan komputer. Pemahaman ini memungkinkan siswa untuk mengadopsi kelakuan, sikap, dan pandangan hidup yang memungkinkan kemampuan untuk beradaptasi dan berkreasi.
            Pendidikan yang menekankan pada pertumbuhan daya kreativitas siswa juga akan membantu mengembangkan ingenuitas siswa. Pendidikan seperti ini menitikberatkan proses pembelajarannya pada kemampuan anak untuk mempunyai kemampuan melihat peluang, mengambil keputusan dan mencipta. Seseorang yang mempunyai karakteristik seperti ini akan lebih mudah beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di sekelilingnya.
            Pendidikan kreatif semacam ini mensyaratkan adanya siklus pembelajaran (learning cycle) yang diharapkan akan membentuk kebiasaan siswa untuk berpikir kreatif yang terus-menerus dilakukan dalam setiap tema pelajaran. Dalam proses pembelajaran, siswa dilatih untuk mengekplorasi dan menganalisa permasalahan, yang selanjutnya berusaha menciptakan peluang dari kesempatan yang ada. Kemudian, siswa dilatih untuk melakukan aksi guna menghasilkan produk (dapat berupa produk material maupun gagasan). Setelah produk dihasilkan, siswa diberikan kesempatan untuk mengkomunikasikan atau mempresentasikan produk yang dihasilkan. Pada akhirnya siswa akan melakukan refleksi serta evaluasi atas apa yang telah dilakukan serta dihasilkan. Siklus ini akan berlangsung secara terus-menerus.

LEARNING CYCLE

                        EXPLORING                                      PLANNING


REFLECTING                                                                                                PRODUCING


                                                COMMUNICATING

            Dengan menerapkan proses pembelajaran seperti ini, sekolah akan mampu meluluskan siswa dengan kemampuan kreatif yang mampu menghadapi perubahan terhadap di dalam kehidupannya. Siswa akan mempunyai kemampuan untuk menganalisa keadaan dan mencari peluang yang mengarahkannya pada suatu tindakan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain. Pada titik inilah, ingenuitas seseorang bekerja.

3. Mengembangkan Cinta
            Cinta merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sebuah interaksi sosial yang harmonis. Lowney menggambarkan bahwa seseorang yang mendasarkan kehidupannya pada cinta akan terus selalu melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagai makhluk berharga, yang mempunyai potensi yang senantiasa perlu diterus dikembangkan (2005:37). Situasi sosial dimana di dalamnya orang berinteraksi harus dikondisikan untuk saling mendukung dan bergerak oleh cinta.
            Untuk mengembangkan kemampuan ini pada siswa, guru harus dapat menjadi role model bagi siswa akan seseorang yang hidupnya digerakkan oleh cinta. Dalam kesehariannya, guru harus mampu menunjukkan cintanya kepada semua siswa. Siswa dibangunkan semangatnya untuk berani memunculkan dan mengembangkan potensinya. Guru menciptakan suasana saling mendukung dan membantu dengan terus mengingatkan siswa arti penting dari situasi seperti itu. Kedisiplinan yang diterapkan guru pun bukan dibangun atas ketakutan siswa melainkan oleh cinta.
            Guru juga dapat memberikan ilustrasi kepada siswa dengan bermain peran (role play) dan studi kasus. Hal ini dapat memberikan gambaran kepada siswa apa yang sebaiknya atau bisa dilakukan untuk menunjukkan cinta kepada diri sendiri dan orang lain. Diskusi atau analisa bisa dilakukan secara individual maupun kelompok. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam pelajaran Character Building secara khusus maupun terintegrasi pada seluruh mata pelajaran karena pada dasarnya cakupan cinta terhadap diri sendiri dan orang lain begiitu luas yaitu meliputi tanggung jawab, toleransi, perhatian, kepekaan sosial, dan kejujuran.
            Guru juga dapat melakukan pembiasaan untuk bekerja di dalam kelompok dalam mengerjakan tugas. Dalam kelompok kerja tersebut, guru dapat mengajarkan kepada siswa bagaimana pentingnya melibatkan diri serta orang lain dalam mengerjakan suatu tugas. Juga dibiasakan siswa untuk menciptakan suasana saling mendukung dan membantu dalam kelompok kerja tersebut.

4. Mengembangkan Heroisme
Heroisme merupakan sikap yang selalu berusaha melakukan yang terbaik dan memberikan lebih. Seseorang yang memiliki heroisme selalu gelisah dan tidak puas dengan apa yang sudah dilakukan. Dia akan terus berusaha mencari peluang dan sarana untuk mendedikasikan dirinya melalui perbuatannya terhadap kehidupan personal, sosial dan spiritualnya.
            Untuk mengembangkan heroisme pada siswa, guru dapat mengajarkannya melalui cerita-cerita tokoh-tokoh inspirasional. Dengan variatif, guru dapat melakukannya melalui kegiatan story-telling, movie-watching, atau memberikan tugas pada siswa untuk mencari dan menganalisa sendiri tokoh-tokoh inspirasional. Penekanan perlu dilakukan pada momen atau tindakan yang mencerminkan kemampuan tokoh tersebut untuk selalu berusaha memberikan “lebih” dan mendedikasikan dirinya pada kehidupan spiritual maupun sosial.
            Siswa juga dapat diberikan kesempatan untuk membagi cerita tentang tokoh-tokoh idola mereka. Mereka diarahkan untuk mampu memberikan alasan mengapa tokoh-tokoh tersebut dapat menjadi idola mereka, serta menunjukkan sifat-sifat yang disukai dari tokoh-tokoh tersebut.
            Secara periodik (dapat dilakukan mingguan ataupun bulanan) siswa diminta untuk membuat “Pohon Niat” dimana didalamnya siswa menuliskan niat yang ingin mereka capai dalam kurun waktu tersebut (mingguan atau bulanan). Selanjutnya, dalam aktifitas mereka sehari-hari, mereka akan selalu diingatkan tentang niat-niat yang ingin mereka capai tersebut.
            Untuk dapat memaksimalkan potensi siswa untuk selalu dapat memberikan atau melakukan yang “lebih” sesuai dengan semangat heroisme, guru hendaknya berupaya untuk secara intensif memberikan tantangan yang sifatnya memotivasi kepada siswa guna mengoptimalkan kemampuannya dalam mengerjakan sesuatu.  Stimulus-stimulus baik verbal maupun non verbal selalu mengiringi setiap proses pembelajaran di sekolah.

Mengintegrasikan Empat Pilar
Keempat pilar dalam penerapannya tidak dapat dipisahkan, mereka merupakan paduan yang terintegrasi. Dalam mengembangkan keempat pilar ini pada siswa juga perlu momen di mana guru mampu menyampaikan kepada siswa bahwa keempat pilar ini saling terkait.
Pengembangan keempat pilar ini haruslah terintegrasi dalam proses pembelajaran setiap hari. Selain itu, situasi dan kondisi kelas juga perlu diciptakan untuk mendukung proses pengembangan ini. Ruangan kelas dapat dihias dengan nuansa kepemimpinan heroik ini. Mulai dari tulisan kata-kata bijak atau motivasi untuk mengarahkan siswa pada perilaku yang mencerminkan keempat pilar kepemimpinan heroik misalnya NEVER GIVE UP, RESPECT OTHERS, BE A CARING PERSON, dll. Poster-poster tentang tokoh-tokoh yang mencerminkan model kepemimpinan inipun dapat ditampilkan sebagai bagian dari dekorasi kelas misalnya Mother Teresa, Franxiscus Xaverius, Barrack Obama, Mahatma Gandhi dll.
Secara periodik, guru pun dapat memberikan penghargaan berupa label bergilir yaitu Heroic Leader of This Week. Label ini dimaksudkan untuk memotivasi siswa untuk selalu berusaha menerapkan keempat pilar tersebut dalam kehidupannya sehari-hari di sekolah. Oleh karenanya, kriteria penilaian yang dipakai adalah skala sikap siswa yang terekam oleh guru. Siswa yang mendapatkan label ini diharapkan mampu menjadi role model bagi teman-temannya untuk mengaktualisasikan keempat pilar tersebut.
            Kecenderungan siswa SD adalah sangat senang dan bersemangat melakukan suatu tindakan yang memungkinkan mereka mendapatkan reward atau dampak yang positif. Dalam kesehariannya, guru dapat menerapkan sistem reward atau poin dimana siswa akan diberikan reward atau poin jika melakukan tindakan yang mencerminkan keempat pilar tersebut. Sebaliknya, jika siswa melakukan tindakan yang melanggar prinsip keempat pilar tersebut maka guru dapat mengurangi reward atau poin mereka. Pemberian reward atau poin, juga akan lebih efektif jika disertai pujian verbal yang akan membesarkan hati dan menyemangati siswa untuk selalu berusaha bertindak yang baik karena perbuatan baik yang dilakukan siswa dapat juga menghilang jika tidak diindahkan.
            Observasi guru terhadap perilaku siswa tentang penerapan empat pilar kepemimpinan ini secara periodik (dapat dilakukan secara bulanan) tercatat dalam sebuah skala sikap yang dikomunikasikan dengan siswa serta orang tua siswa. Rubrik ini diharapkan mampu menjadi sebuah rekaman kemajuan sikap dan perilaku siswa yang dapat memberikan gambaran tentang sikap dan perilaku tertentu yang sudah baik dilakukan serta yang perlu ditingkatkan.

Rubrik Penilaian Sikap Kepemimpinan Heroik
Pilar Kepemimpinan
Indikator Perilaku
Poin
1
2
3
4
Kesadaran Diri
Mengidentifikasi kelebihan-kelebihan diri




Mengidentifikasi kelemahan-kelemahan diri




Menetapkan tujuan-tujuan diri




Menentukan langkah-langkah untuk mencapai tujuan diri




Melakukan evaluasi diri atas tugas yang telah dikerjakan




Ingenuitas
Mengidentifikasi permasalahan




Menganalisa dan mencari solusi




Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan orang lain




Mengerjakan tugas secara mandiri




Percaya diri dalam mengemukakan pendapat dan mengerjakan tugas




Cinta
Melibatkan diri dalam interaksi sosial




Memberi dukungan kepada orang lain dalam hal yang positif




Memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan




Menaati peraturan kelas dan sekolah




Bekerja sama dalam kelompok kerja




Heroisme
Memotivasi diri untuk tidak mudah putus asa dan berbuat lebih baik lagi




Memotivasi orang lain untuk tidak mudah putus asa dan berbuat lebih baik lagi




Bekerja keras




Terlibat aktif dalam diskusi dan kegiatan kelas




Mencari dan menemukan peluang





Penutup
            Konsep kepemimpinan heroik melalui empat pilar kepemimpinannya menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah milik semua orang. Kepemimpinan tidaklah selalul identik dengan satu orang besar serta peristiwa hebat. Kepemimpinan heroik berlangsung sepanjang hidup serta tak pernah usai. Oleh karenanya, konsep kepemimpinan ini sangatlah perlu ditanamkan sejak dini pada siswa SD. Pengembangan kepemimpinan ini bukan merupakan sebuah proses instan melainkan perlu diintegrasikan dalam kegiatan belajar mengajar yang berlangsung terus-menerus.
Peranan guru sangat vital dalam pengembangan empat pilar kepemimpinan heroik ini. Guru dituntut untuk mempunyai pemahaman tentang empat pilar kepemimpinan ini. Selanjutnya, guru harus mampu mengemas aktivitas pembelajaran yang dapat menjadi sarana pengembangan kepemimpinan ini. Guru pun dituntut mampu membuat kondisi serta situasi kelas yang menjadi stimulus yang mengarahkan sikap dan perilaku siswa mengembangkan empat pilar ini. Komunikasi haruslah dibangun secara intensif dengan siswa serta orang tua atas kemajuan sikap dan perilaku siswa atas keempat pilar ini. Sosok guru juga diharapkan mampu menjadi role model bagi siswa.
Daftar Pustaka
Gabriel, J.G., How to Thrive As A Teacher Leader, Alexandria, ASCD, 2005

Johnson, S. & Johnson, C., The One Minute Teacher, Jakarta, Penerbit Erlangga, 2005

Lowney, C., Heroic Leadership: Praktik Terbaik “Perusahaan” Berumur 450 Tahun yang Mengubah Dunia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2005

Marzano, R.J., What Works in Schools: Translating Research into Action, Alexandria, ASCD, 2003

Marzano, R.J., Waters, T. & McNulty, B.A., School Leadership That Works: From Research to Results, Alexandria, ASCD & McREL, 2005

Nanus, B., Visionary Leadership: Creating a Compelling Sense of Direction for Your Organization, San Fransisco, Jossey-Bass Publishers, 1992

Northouse, P.G., Leadership: Theory and Practice, California, Sage Publications, 1997

Pockell, L. & Avila, A.,(ed), The 100 Greatest Leadership Principles of All Time, New York, Warner Books, 2007

Smith, S.C. & Piele, P.K., School Leadership: Handbook for Excellence in Student Learning, California, Corwin Press, 2006

Sabtu, 16 Juli 2011

Positivisme Dalam Teori Operant Conditioning B.F.Skinner


Abstrak
Positivisme menganggap bahwa pengetahuan harus didapat melalui realitas positif yaitu fakta-fakta yang dapat dikenali secara indrawi. Positivisme dianggap sukses dipakai sebagai sebuah metode analisis dalam ilmu-ilmu alam. Dalam perkembangannya, positivisme juga dipakai dalam ilmu-ilmu sosial kemanusiaan termasuk psikologi. Tulisan ini akan mengungkap positivisme dalam teori Operant Conditioning B.F. Skinner, serta mengungkap apakah teori behaviourisme Skinner dapat dikategorikan sebagai sains. Untuk membantu menemukan jawaban-jawaban tersebut di atas, penulis menggunakan studi kepustakaan.
Kata kunci: positivisme, behaviorisme, operant-conditioning, stimulus, respons, reinforcement

Pendahuluan
B.F. Skinner, seorang penganut behaviorisme,  melalui teori Operant Conditioning-nya membawa pengaruh yang sangat besar memahami perilaku-perilaku individu dalam konteks lingkungannya. Menurut Skinner, esensi dari proses pembelajaran adalah perubahan pada perilaku pembelajar. Perilaku tersebut terbentuk oleh konsekuensi yang dimunculkan oleh perilaku itu sendiri. Skinner berpendapat perilaku muncul sebagai akibat adanya hubungan antara perangsang dan respons. Untuk membuktikan premisnya ini, Skinner melakukan percobaan di laboratorium dengan menggunakan objek hewan yaitu tikus dan kemudian burung merpati. Melalui percobaannya ini, Skinner mengklaim bahwa psikologi ternyata dapat menjadi sains melalui studi perilaku.

Positivisme
Positivisme modern telah membawa pengaruh ke dalam segala sektor keilmuan. Hal ini ditandai dengan kebangkitan semangat Eropa, melalui Renaisance, sebagai abad pencerahan yang diyakini akan mampu membawa harapan melalui ilmu pengetahuan pada orde peradaban yang dapat memecahkan segala persoalan hidup manusia.
Positivisme sendiri dapat diartikan sebagai aliran filsafat modern yang mulai menemui bentuknya dengan jelas melalui karya Auguste Comte (1798-1857) dengan judul Course de Philoshopie Positive. Dalam buku ini pulalah istilah positivisme diperkenalkan oleh Comte yang diambil dari kata ”positif”[1]. Para penganut positivisme hanya mau mengikuti fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang dapat diobservasi dengan hubungan obyektif fakta-fakta ini dan hukum-hukum yang menentukannya, meninggalkan semua penyelidikan menjadi sebab-sebab atau asal-usul tertinggi.
Auguste Comte membagi evolusi menjadi tiga tahap, pertama, tahap teologis (tahap agama dan ketuhanan) dimana semua fenomena dapat dijelaskan dengan mengacu kepada sebab-sebab supernatural dan intervensi yang bersifat ilahi. Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan; kedua tahap metafisika atau tahapan filsafat yang menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi. Pada tahap ini, pemikiran ditujukan kepada prinsip-prinsip dan ide-ide tertinggi yang dipahami  dan diyakini ada di bawah permukaan  sesuatu, dan ketiga, tahap positif yaitu pemikiran yang menolak semua bentuk hipotesis dalam filsafat dan membatasi diri pada observasi empiris dan hubungan fakta-fakta melalui metode-metode yang dipergunakan dalam ilmu-ilmu alam, menafikkan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.
Positivisme merupakan suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif yang harus dilepaskan dari segala macam prokonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya. Menurut Comte, metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus menerus dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan.
Pokok-pokok pemikiran positivisme dapat dijelaskan lebih rinci sebagai berikut: pertama, hanya ilmu  yang bebas nilai yang dapat memberikan pengetahuan  yang sah; kedua, hanya fakta (ikhwal/peristiwa empiris) yang dapat menjadi obyek ilmu; ketiga, metode filsafat tidak berbeda dengan metode ilmu; keempat, tugas filsafat adalah menemukan asas-asas umum yang berlaku bagi semua ilmu dan menggunakan asas-asas tersebut sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan menjadikan landasan bagi semua organisasi sosial; kelima, semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan hanya pada pengalaman (empiris verifikatif), keenam, mengacu pada ilmu-ilmu alam, dan ketujuh berupaya memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena, baik dunia fisik maupun dunia manusia melalui aplikasi metode-metode dan perluasan jangkauan hasil-hasil ilmu alam.
Aliran positivisme mengalami beberapa perombakan di beberapa sisi, salah satunya dapat dilihat dengan munculnya aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya dipelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris. Oleh karenanya, semua hal yang berkaitan dengan penelitiannya sangat bergantung pada pengalaman inderawi[2].
Dapat dikatakan positivisme logis mempunyai tendensi menghidupkan kembali prinsip tradisi empiris abad ke 19. Lingkaran Wina menerima pengelompokan proposisi yang dilakukan Hume dengan analitis dan sintetis, dan berasaskan ini kebenaran proposisi-proposisi empiris dikategorikan bermakna apabila ditegaskan dengan penyaksian dan eksperimen, dan proposisi-proposisi metafisika yang tidak dapat dieksprimenkan maka dikategorikan sebagai tidak bermakna dan tidak memiliki kebenaran. “Jelaslah bahwa para pemikir positivisme logis memusatkan refleksi mereka pada problematika bahasa,” begitu tulis Reza A.A Watimena (2008, hlm. 181)

Teori Behaviourisme Skinner
Skinner memiliki tiga asumsi dasar dalam membangun teorinya:
  1. Behavior is lawful (perilaku memiliki hukum tertentu)
  2. Behavior can be predicted (perilaku dapat diramalkan)
  3. Behavior can be controlled (perilaku dapat dikontrol)
Skinner juga menekankan mengenai functional analysis of behavior yaitu analisis perilaku dalam hal hubungan sebab akibat, dimana penyebabnya itu sendiri (seperti stimuli, deprivation, dan sebagainya) merupakan sesuatu yang dapat dikontrol. Hal ini dapat mengungkapkan bahwa sebagian besar perilaku dalam kejadian antesedennya berlangsung atau bertempat pada lingkungan. Kontrol atas events ini membuat kita dapat mengatur perilaku seperti yang kita inginkan.
Skinner menganggap bahwa di dalam proses pembelajaran di kelas,  perilaku siswa dapat dimodifikasi sesuai dengan keinginan kita yaitu antara lain dengan melakukan proses penguatan (reinforcement). Definisi dari teori Operant Conditioning sendiri adalah suatu proses penguatan perilaku operan ( penguatan positif maupun negatif ) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai keinginan. Untuk membuktikan hipotesisnya ini, Skinner melakukan percobaan di laboratorium dengan menggunakan beberapa hewan sebagai objek risetnya.
Di dalam sebuah laboratorium, Skinner memasukkan seekor tikus yang dikondisikan lapar ke dalam kotak yang dinamakan “Skinner Box”. Kotak ini sendiri sudah dipersiapkan yaitu dilengkapi dengan berbagai peralatan penunjang yaitu pedal, lampu yang dapat menyalanya dapat diatur, lantai yang dapat dialiri listrik, pemberi makanan dan penampung makanan.
Dalam keadaan lapar, tikus tersebut bergerak kesana-kemari secara tidak beraturan. Secara tidak sengaja, tikus itu menginjak pedal yang kemudian memunculkan makanan. Kemudian di lain waktu, tikus masih dalam kondisi lapar bergerak kesana-kemari mencari makanan. Dengan tanpa sengaja, tikus kembali menginjak pedal yang memunculkan makanan lagi. Begitu seterusnya sehingga lama kelamaan dalam keadaan lapar mencari makanan tikus akan menginjak pedal tanpa terlebih dahulu bergerak kesana-kemari. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus. Proses ini disebut shapping.
Skinner juga melakukan percobaan pada burung merpati dengan menggunakan prinsip-prinsip yang sama. Ternyata, proses perilaku dari burung merpati pun ternyata dapat diatur dan diarahkan dengan memberikan stimulus yang telah dikondisikan.
Melalui percobaan-percobaannya tersebut, Skinner beranggapan bahwa penguatan (reinforcement) dalam belajar menjadi unsur terpenting untuk membentuk perilaku yang diharapkan. Pengetahuan dapat terbentuk melalui hubingan stimulus-respon yang akan semakin kuat jika diberi penguatan.
Skinner membagi jenis penguatan menjadi dua yaitu penguatan positif (positive reinforcement) dan penguatan negatif (negative reinforcement). Penguatan positif adalah stimulus yang diberikan dan digunakan untuk meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku. Sedangkan penguatan negatif adalah stimulus yang diberikan dengan cara menghilangkan sesuatu atau menggantikan dengan yang lain untuk tujuan menghilangkan atau mengurangi perilaku tertentu[3]. Bentuk bentuk penguatan positif dapat berupa hadiah atau penghargaan. Bentuk bentuk penguatan negatif antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang.

Positivisme dalam Teori Behaviorisme Skinner
Menurut Skinner, untuk mempelajari perilaku, peneliti harus memanipulasi peristiwa yang dapat diamati dalam suatu setting yang terkontrol maka dalam percobaannya, Skinner telah menyiapkan sererangkat alat percobaan sedemikian rupa untuk mengontrol kondisi-kondisi lingkungan. Proses ini sejalan dengan apa yang diyakini oleh para penganut positivisme bahwa pengetahuan yang layak diterima adalah pengetahuan yang didasarkan pada pembuktian melalui fakta-fakta yang dapat diamati secara empiris.
Berangkat dari asumsi-asumsi dasar yang diyakininya yaitu bahwa perilaku memiliki hukum tertentu, perilaku dapat diramalkan serta perilaku dapat dikontrol, Skinner mempelajari gerak non reflek atau yang disengaja melalui percobaan tikus dan burung merpati yang lapar yang dimasukkan dalam Skinner Box. Hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa asumsi-asumsinya tersebut dapat diverifikasi melalui fakta-fakta yang mampu diamati secara empiris. Melalui teori Operant Conditioning-nya, Skinner menekankan bahwa jadwal pemberian penguatan sebagai variable bebas dan respon organisme atas penguatan tersebut adalah variable yang tidak bebas dan ditentukan.
Skinner beranggapan bahwa studi tentang behaviorisme adalah natural science karena studi tentang perilaku hewan yang dilakukan dengan tepat dapat pula dikomparasikan dengan studi tentang perilaku manusia. Tujuan dari sains adalah untuk menemukan hubungan hukum-hukum pada peristiwa-peristiwa alamiah dalam lingkungan. Oleh karenanya, ilmu-ilmu behaviorisme harus mampu menemukan hubungan-hubungan yang berkaitan dengan hukum atau fungsional terhadap kondisi-kondis fisik atau peristiwa-peristiwa lingkungan dan perilaku. Maka, tugas dari seorang ilmuwan adalah menemukan urutan dan keseragaman peristiwa (Skinner, 1953). Hal ini ditunjukkan Skinner melalui hewan-hewan percobaannya bahwa perubahan perilaku sangat berkorelasi dengan penguatan-penguatan yang diberikan. Tikus ataupun burung merpati mampu dengan sengaja menekan alat yang dapat mengeluarkan makanan.
Dari hasil penelitian laboratoriumnya terhadap tikus dan merpati, Skinner menarik kesimpulan bahwa proses-proses yang terjadi dan ditunjukkan dalam perilaku hewan-hewan tersebut dapat pula diterapkan dalam mengontrol perilaku manusia.
Secara ringkas, setidaknya ada 6 asumsi yang melandasi teori Operant Conditioning-nya Skinner.
  1. Pembelajaran adalah perubahan perilaku.
  2. Perubahan perilaku atau pembelajaran secara fungsional berkaitan dengan perubahan dalam peristiwa-peristiwa atau kondisi-kondisi lingkungan.
  3. Hubungan hukum-hukum antara perilaku dan lingkungan dapat ditentukan hanya jika properti perilaku dan kondisi-kondisi eksperimental didefinisikan dalam istilah-istilah fisik serta dapat diamati dalam kondisi-kondisi yang terkontrol.
  4. Data dari dari studi eksperimen atas perilaku adalah satu-satunya sumber informasi yang dapat diterima tentang penyebab munculnya perilaku tertentu.
  5. Perilaku organisme individual adalah sumber data yang tepat.
  6. Dinamika interaksi organisme dengan lingkungannya adalah berlaku sama untuk semua spesies.
Dari keenam asumsi di atas terlihat bahwa Skinner menolak anggapan bahwa perubahan perilaku dalam proses pembelajaran hanyalah terjadi melalui peristiwa yang tak dapat dijelaskan melalui bukti-bukti empiris. Skinner berusaha menjelaskan tesisnya melalui data-data empiris yang sejalan dengan tesis positivisme yaitu bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Dengan demikian para penganut positivisme, dalam hal ini Skinner juga, menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek di luar fakta serta penggunaan metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta.
Asumsi-asumsi ilmu pengetahuan positif, antara lain : pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai dan netral) seorang ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti. Skinner berusaha membuat deskripsi serta konklusi yang objektif atas pengamatannya terhadap objek-objek risetnya yang terangkum dalam teori Operant Conditioning. Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali. Untuk membuktikan kesahihan teorinya, Skinner melakukan percobaan yang diulang-ulang terhadap objek yang sama (tikus) dan bahkan selanjutnya diganti dengan objek yang berbeda (burung merpati). Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa respon organism terhadap stimulus tertentu adalah sama. Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian alam dari mutualisme simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain. Muncullah kemudian rumusan Skinner tentang Operant Conditioning yang mengungkapkan bahwa perilaku organisme dapat dikontrol dengan memberikan stimulus-stimulus yang dikondisikan.

Apakah Teori Skinner termasuk Kategori Sains?
Skinner dalam membangun rumusan teori Operant Conditioning-nya menggunakan metode pendekatan ilmu-ilmu alam sebagai upaya menemukan hukum-hukum alam yang mampu menjelaskan perilaku organisme dalam merespon kondisi lingkungannya. Seperti yang dituliskan oleh Budi Hardiman (2003, hlm.22), penelitian pada ilmu-ilmu alam mempunyai beberapa pengandaian dasar.
Pertama, seorang ilmuwan dalam penelitian di laboratoriumnya mengambil jarak pada objek risetnya dalam mengamati proses-proses ilmiah yang berlangsung. Ilmuwan dalam hal ini mengambil sikap distansi penuh. Dalam studinya tentang perilaku organisme, Skinner menggunakan objek tikus dan burung merpati yang dimasukkan dalam kotak Skinner. Kemudian, kotak tersebut mempunyai suatu pedal pada salah satu temboknya yang bila ditekan maka dapat melepaskan makanan ke dalamnya. Kemudian tikus tersebut berjalan mengelilingi kotak dan tanpa sengaja menekan pedal, sehingga mengakibatkan munculnya makanan. Kejadian tersebut membuat tikus selalu berusaha menekan pedal dan mengumpulkan makanan yang muncul di sudut kotak.
Kedua, masih dalam pengambilan jarak tersebut, ilmuwan menempatkan objeknya sebagai fakta netral yang terbebas dari unsur-unsur subyektifnya seperti pertimbangan moral, tendensi personal, mimpi-mimpi, dan seterusnya. Skinner mengamati proses ilmiah yang terjadi di dalam kotak Skinner dengan sikap distansi penuh.
Ketiga, dengan penempatan diri seperti itu, ilmuwan dapat memanipulasi objeknya dalam proses eksperimennya untuk menemukan pengetahuan berdasar model “sebab-akibat”. Eksperimen pada tikus dan burung merpati tersebut membuktikan bahwa suatu perilaku yang diikuti oleh stimulus penguat akan meningkatkan kemungkinan munculnya kembali perilaku tersebut di masa depan. Penguatan dapat membuat kita membentuk perilaku dari organisme sehingga dapat memunculkan perilaku yang diinginkan (dengan proses belajar operan).
 Keempat, melalui proses manipulasi objek akan memunculkan pengetahuan tentang hukum-hukum yang niscaya. Bagi Skinner, respon muncul karena adanya penguatan. Ketika dia mengeluarkan respon tertentu pada kondisi tertentu, maka ketika ada penguatan atas hal itu, dia akan cenderung mengulangi respon tersebut hingga akhirnya dia berespon pada situasi yang lebih luas. Penguatan tersebut akan berlangsung stabil dan menghasilkan perilaku yang menetap.
Kelima, rumusan teori yang dihasilkan melalui tahap-tahap tersebut merupakan pengetahuan yang bebas dari kepentingan. Skinner, menganggap bahwa temuannya adalah bersih dari kepentingan karena dia menolak untuk menyimpulkan mekanisme atau proses yang tidak terobservasi. Sedangkan rumusan teori yang dihasilkannya adalah hasil dari penerapan metode ilmiah yang dapat terbukti secara empiris.
Namun begitu, walaupun Skinner sendiri mengkalim bahwa studi behaviourismenya adalah sains serta aplikasi metode pendekatan ilmu-ilmu alam dalam penelitiannya, apakah cukup membuktikan bahwa teori Operant Conditioning Skinner layak dikategorikan sebagai sains? Marilah kita melihat sejenak kriteria-kriteria untuk menentukan sesuatu itu layak dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan atau tidak. Perumusan kriteria ini berguna untuk membedakan ilmu pengetahuan dengan pengetahuan umum serta antara ilmu pengetahuan dengan pernyataan-pernyataan yang mengklaim dirinya ilmiah, namun sebenarnya pernyataan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Kriteria-kriteria yang akan diuraikan ini mengacu pada rumusan Herbert Feigl dalam berbagai tulisannya[4].
Pertama, suatu teori atau pernyataan ilmiah harus dapat diuji secara intersubyektif. Artinya, suatu teori atau pernyataan haruslah dapat diuji oleh siapapun secara intersubyektif dengan hasil yang sama sehingga teori atau pernyataan itu tidak hanya diketahui dan diyakini oleh sang ilmuwan saja. Melalui percobaannya di dalam laboratorium Skinner mengemukakan dua prinsip umum yaitu :
            a) Setiap respon yang diikuti penguatan maka akan cenderung diulang kembali
            b) Penguatan akan meningkatkan kecepatan respon
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah jika orang lain yang melakukan percobaan yang sama akan menghasilkan prinsip-prinsip yang sama dengan yang disimpulkan oleh Skinner. Yang lebih bermasalah lagi, Skinner mengkomparasikan hasil penelitiaannya pada hewan dengan perilaku manusia. Manusia berperilaku tidak hanya digerakkan oleh insting (sebagaimana terjadi pada hewan) namun juga emosi dan logika mempengaruhi perilaku dan responnya dalam lingkungan. Dalam hal ini, Skinner terlalu tergesa-gesa mengklaim bahwa studi terhadap perilaku hewan juga dapat diberlakukan pada manusia. Keismpulan yang diambil Skinner adalah kesimpulan subyektif. Orang lain sangatlah mungkin mengambil kesimpulan yang berbeda dengan melakukan percobaan yang sama misalnya apakah setiap ada penguatan positif dalam bentuk sesuatu yang disuka, seseorang akan selalu berusaha mendapatkannya. Seorang anak SD mungkin akan tertarik dengan penghargaan berupa poin atau sticker, namun jika suatu waktu kondisi emosinya sedang labil, stress ataupun sedih, belum tentu dia akan tertarik dengan pemberian dalam bentuk apapun.
Kedua, suatu teori atau pernyataan ilmiah haruslah dapat dipercaya kebenarannya. Kita dapat memberikan penilaian tentang kebenaran suatu teori melalui uji coba. Masih berkorelasi dengan kriteria yang pertama, Skinner dalam hal ini melakukan reduksi atas nilai-nilai kodrati manusia dengan menyamakan proses perilakunya dengan perilaku hewan. Kebenaran teori Skinner hanya berlaku pada hewan-hewan percobaannya. Namun, ke benarannya dapat disangsikan jika diberlakukan pada manusia.
Ketiga, suatu teori atau pernyataan ilmiah haruslah memiliki kejelasan dan ketepatan. Dalam hal ini, teori atau pernyataan ilmiah tidak boleh bersifat ambigu. Konsep yang diuraikan haruslah tepat dan jelas. Dapat diambil sebuah contoh, Skinner menjelaskan konsep diskriminasinya yaitu organisme dapat diajarkan untuk berespon hanya pada suatu stimulus yang dikehendaki saja dan tidak pada stimulus lainnya. Hal ini dilakukan dengan secara konsisten memberi penguatan hanya pada respon bagi stimulus yang diinginkan dan tidak pada respon terhadap stimulus lainnya. Validitas tesis ini mengundang kritik karena Skinner memberikan generalisasi yang berlebihan dari satu konteks perilaku kepada hampir seluruh perilaku umum mengingat hasrat perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh stimulus eksternal saja. Ada motif-motif pribadi yang muncul dari proses pemikiran serta kondisi emosionalnya.
Keempat, suatu teori atau pernyataan ilmiah haruslah koheren dan sistematik. Reza A.A Watimena (2008, hlm.114) menjelaskannya seperti ini, ”Di dalam ilmu pengetahuan, yang dicari bukanlah kumpulan fakta-fakta yang tidak saling berhubungan satu sama lain. Koherensi dan sistematika suatu teori dapat diuji jika kita menganalisisnya berdasarkan prosedur hipotetis-deduktif di dalam ilmu pengetahuan.” Suatu teori tidak boleh memiliki kontradiksi internal di dalam bangunannya sendiri. Koherensi dan sistematika dalam teori Skinner dapat diuji melalui analisa prosedur hipotesis-deduktif di dalamnya. Ada empat langkah dalam prosedur ini.
Pertama, suatu teori berawal dari suatu masalah yang ada pada fenomena di dunia. Kedua, seorang ilmuwan harus merumuskan hipotesis, hukum dan teori tentang fenomena yang sedang dianalisis, atau menyelesaikan masalah yang sedang dianalisisnya. Ketiga, masalah atau fenomena yang diteliti oleh seorang ilmuwan haruslah fakta yang dapat diamati. Keempat, suatu teori juga harus dapat diuji kebenarannya[5].
Berdasarkan prosedur di atas, teori Skinner bermasalah pada tahap keempat karena teori Skinner sulit diverifikasi. Demikianlah bangunan teori Skinner bukannlah suatu jaringan yang menyatu dan terintegrasikan karena penelitian terhadap perilaku hewan tidak dapat begitu saja diberlakukan sama terhadap perilaku manusia.
Kelima, suatu teori atau pernyataan ilmiah mempunyai cakupan yang terbatas dan komprehesibilitas. Artinya, suatu teori dapat disebut komprehensif jika teori tersebut mempunyai daya penjelas yang kuat serta lengkap dalam penjelasannya. Dalam menguraikan penjelasannya mengenai perilaku manusia, Skinner menghilangkan aspek-aspek penting yang juga mampu menjadi perangkat penjelasan tentang perilaku manusia yaitu aspek biologis, kognitif dan mental manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori Operant Conditioning tidak memiliki daya penjelas yang lengkap dan memadai karena Skinner melakukan reduksi akan aspek-aspek kemanusiaan.
Suatu teori dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan jika teori tersebut dapat memenuhi kelima kriteria yang telah  diuraikan di atas. Jika tidak mampu memenuhi kelima kriteria tersebut, teori tersebut akan dianggap tidak ilmiah. Walaupun Skinner sendiri menganggap bahwa dia telah menemukan hukum-hukum perilaku melalui percobaan laboratoriumnya, tapi senyatanya teori Operant Conditioning-nya tidak mampu memenuhi kelima kriteria yang telah diuraikan di atas.

Kesimpulan
            Landasan filosofis dari behaviourime sangatlah dipengaruhi oleh positivisme. Tesis positivisme adalah bahwa satu-satunya pengetahuan yang valid yaitu pengetahuan yang dibangun berdasarkan fakta-fakta empiris yang menjadi obyek pengetahuannya. Ontologi positivisme hanya mengakui sesuatu sebagai nyata dan benar apabila sesuatu itu dapat diamati secara inderawi. Positivisme menolak yang dinyatakan sebagai fakta tetapi tidak dapat diamati oleh siapapun dan tidak dapat diulang kembali. Sesuatu akan diterima sebagai fakta bila dapat dideskripsikan secara inderawi.
Ontologi pada positivisme sejalan dengan dasar pemikiran yang digunakan oleh pendekatan behaviorisme (perilaku) yang ada pada psikologi. Pada pendekatan ini, perilaku merupakan kegiatan organisme yang dapat diamati. Dengan pendekatan perilaku, seorang ahli psikologi mempelajari individu dengan cara mengamati perilakunya dan bukan mengamati kegiatan bagian dalam tubuh.
Hal inilah yang juga dilakukan Skinner dalam membangun teori Operant Conditioning. Metode positivisme yang dipakai dalam ilmu-ilmu alam diadopsi Skinner untuk menemukan hukum-hukum ilmiah yang mampu menjelaskan perilaku organisme dalam lingkungannya. Namun begitu, penerapan metode positivisme tidaklah menjamin suatu teori seketika layak disebut sains. Ternyata, teori Operant Conditioning Skinner jika dikaji lebih jauh lagi dengan menggunakan kriteria-kriteria sains tidak mampu memenuhi kriteria-kriteria tersebut sehingga tidak layak untuk disebut sebagai sains.

Daftar Pustaka
Boulding, K. E. (1984). B. F. Skinner: A Dissident View. Behavioral and Brain Sciences, 7, 483-484.
Gredler, M.E., (2005) Principles of Instructional Design, Belmont: Wadsworth/Thomson Learning.
Hardiman, F.B. (2003), Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hardiman, F.B. (2007), Filasafat Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Skinner, B. F. (1945). The Operational APalysis of Psychological Terms. Psychological Review, 52, 270-277, 290-294.

Skinner, B. F. (1957). Verbal Behavior. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Skinner, B. F. (1979). The Shaping of A Behaviorist. New York: Knopf.
Wattimena, R.A.A., (2008) Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar, Jakarta: PT Grasindo.
Williams, M., (2000) Science and Social Science, London: Rontledge.


[1] Lih. Hardiman, B., Filsafat Modern, hlm. 203-204
[2] Lih. Wattimena, R. A.A.,hlm. 181
[3] Lih. Gredler, M.E.,hlm. 96-99
[4] Lih. Wattimena, R. A.A.,hlm. 111-115
[5] Ibid, hlm. 114